Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

20 Persen Wilayah Karst di Jawa Rusak

Kompas.com - 05/09/2016, 16:17 WIB
Wijaya Kusuma

Penulis

SLEMAN, KOMPAS.com - Sekitar 20 persen wilayah karst di Jawa rusak. Kerusakan ini antara lain akibat aktivitas penambangan batu gamping dan alih fungsi lahan.

"Persoalan utama dalam pengelolaan kawasan karst di Indonesia muncul akibat dari konsekuensi dari desentralisasi kewenangan, khususnya kewenangan perijinan pertambangan batu gamping," ujar peneliti karst Universitas Gadjah Mada, Dr. Eko Haryono, MSi. dalam keterangan pers, Senin (5/9/2016).

Ketua Asia Union of Speleology (AUS) itu mengatakan, desentralisasi kewenangan menjadikan peraturan-peraturan pengelolaan karst yang dikeluarkan pemerintah pusat menjadi tidak berjalan efektif.

Meskipun sudah terdapat peraturan terkait penetapan kawasan karst, implementasinya sering berlawanan dengan kebijakan politis kepala daerah yang memegang kewenangan pengelolaan.

"Kondisi ini menyebabkan kawasan karst yang mempunyai karakteristik yang hampir sama dapat menjadi kawasan lindung di satu kabupaten/kota/provinsi dapat menjadi kawasan budidaya di kabupaten/kota/provinsi lain," ujarnya.

Persoalan lain muncul akibat belum adanya peraturan perundangan yang mengatur operasionalisasi konservasi bentang alam di Indonesia. Peraturan yang ada lebih mengatur pada konservasi biodiversitas dan budaya.

Eko menyampaikan setidaknya 20 persen dari total luas 1.228.538,5 hektar bentang alam karst di Jawa mengalami kerusakan.

Kerusakan terjadi menyebar di sejumlah kawasan karst di Jawa dengan kerusakan terbesar terjadi di Jawa Timur, lalu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Menurut dia, kerusakan kawasan karst di Jawa juga akibat banyaknya pengajuan surat izin pertambangan batu gamping.

"Sifat industri berbasis batu gamping cenderung mendekatkan pasar dengan bahan baku menyebabkan investor saling berlomba untuk menginvestasikan industri pertambangan batu gamping di Jawa sehingga kerusakan kawasan karst banyak terjadi di Pulau Jawa," ujarnya.

Eko menekankan pentingnya pelestarian kars sebab selain berfungsi sebagai kantong penyimpan cadangan air bersih, kawasan karst juga menjadi daerah penyerapan karbon.

"Bentang alam karst mampu menyerap karbon yang mencemari udara dalam jumlah besar yaitu sebesar 13,482 giga gram per tahun," kata dia.

Untuk menahan laju kerusakan bentang alam karst, perlu ada pertimbangan secara komprehensif dalam penetapan kebijakan pengelolaan kawasan.

Kriteria penetapan kawasan fungsi lindung bentang alam karst sebaiknya tidak hanya didasarkan pada kriteria teknis seperti yang berlaku saat ini.

Kriteria ini tidak akan berjalan efektif di era otonomi daerah dan cenderung memicu timbulnya konflik dalam implementasinya.

Kriteria kawasan karst yang bersifat teknis perlu dipadukan dengan kriteria relatif berbasis kepentingan dan keunikan. Nilai kepentingan itu menyangkut tata ruang dan konflik pemanfaatan lahan yang ada.

Tidak hanya itu, kriteria spasial yang juga mendesak untuk disusun adalah terkait penetapan pemilihan gua untuk wisata alam.

Wisata gua massal sebaiknya hanya dilakukan di gua-gua yang mempunyai energi tinggi dengan sirkulasi udara yang terhubung dengan udara luar.

Gua-gua ini pada umumnya memiliki daya dukung yang lebih tinggi untuk menampung wisatawan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com