Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Hamba dan Tuan dari Sumba

Kompas.com - 16/08/2016, 11:27 WIB

Oleh: Ahmad Arif

KOMPAS - Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan 71 tahun lalu. Namun, sebagian penduduknya masih jauh untuk dikatakan "merdeka". Di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, tak sedikit orang menjadi hamba secara turun-temurun: melayani tuannya hingga ajal.

Malam baru saja menjelang ketika kami bertemu dua perempuan tua di salah satu rumah warga Desa Padira Tana, Kecamatan Umbu Ratu Nggay, Sumba Tengah. Pertemuan itu melalui proses berliku. Seorang tokoh masyarakat akhirnya bersedia mempertemukan kami dengan beberapa hamba dengan beberapa syarat, salah satunya identitas dirahasiakan.

"Saya tidak tahu lagi umur berapa. Sejak lahir sudah jadi ata karena orangtua juga ata," ujar seorang di antaranya, sekitar 60 tahun. "Kami buta huruf, tak pernah sekolah," ujarnya lagi. Suara terbata. "Kami hanya ingin nasib anak cucu kami lebih baik nantinya."

Ata atau hamba merupakan sebutan untuk kasta terendah di Sumba. Lapis pertama dalam struktur sosial itu ratu, yang bertugas mengatur ritual keagamaan berkenaan dengan kepercayaan Marapu. Lapis kedua marimba atau golongan ningrat. Lapis ketiga kabihu bokul atau golongan keluarga besar dan kaya. Keempat, kabihu kudu, golongan kecil dan miskin atau hamba sahaya.

Kepala Urusan Pemerintahan Desa Padira Tana, Ismail Faulani Minyakmata, mengatakan, sekitar 30 persen penduduk di desanya dari golongan hamba. "Tak ada angka pasti jumlahnya, bisa lebih. Ini adat turun-temurun," ujarnya.

Dua hamba perempuan yang kami temui itu dari Sumba Timur, yang dipaksa ikut tuannya yang dinikahi bangsawan dari Padira Tana. "Kami sudah dibelis," ujar perempuan yang lebih tua. "Baru bisa bebas jika ada yang membayar belis kami."

Belis merupakan tradisi membayar mahar kepada pengantin perempuan. Biasanya berupa hewan ternak, bisa ratusan ekor, tergantung kesepakatan keluarga mempelai. Jika pengantin perempuan punya hamba, pelamar diminta membayar belis untuk hamba-hamba yang akan terus mengikutinya. Semakin banyak hambanya, belisnya semakin mahal.

Sebagai hamba, kedua perempuan ini tak punya hak atas kepemilikan harta, tanah, bahkan kebebasan memilih suami. "Semuanya tuan yang mengatur. Kami dulu mengurus ternak dan sawah Bapak Tua (tuannya), imbalannya dapat makan. Namun, sekarang Bapak Tua sudah miskin, kami ditelantarkan," ujar yang lebih tua. Untuk hidup, kedua hamba ini banyak tergantung belas kasih tetangga.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com