Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rumah Warga di Perbatasan, Teras di Wilayah Indonesia, Dapur di Malaysia

Kompas.com - 16/08/2016, 07:59 WIB
Sukoco

Penulis

NUNUKAN, KOMPAS.com – Sayup-sayup suara musik dangdut terdengar dari rumah bercat merah putih di sudut jalan Desa Aji Kuning, Kecamatan Sebatik, Kabupaten Nunukan Kalimantan Utara, tak jauh dari Pos Penjagaan Satuan Tugas Pengamanan Wilayah Perbatasan Satgas Pamtas.

Pemilik rumah, Hasida (53), sedang asyik menjahit baju di dapur yang juga difungsikan sebagai tempat bekerja menerima jahitan baju dari tetangganya. Dapur ini berada di atas tanah Malaysia. Setiap kali ingin mengambil benang atau keperluan lain untuk menjahit, dia harus melangkah ke ruang depan yang berada di atas tanah Indonesia.

Ya, rumah yang ditinggali Hasida bersama keluarganya selama 16 tahun terakhir "terbelah" karena berada di tapal batas antar-negara.

Tak sampai 10 meter dari rumah Hasida tertanam patok batas antar negara. Biasanya warga Kecamatan Sebatik menyebutnya Patok 3. Tepat di samping Patok 3, terdapat pos penjagaan Satgas Pamtas.

KOMPAS.com/Sukoco Hasida di ruang dapur rumahnya. Rumah keluarga Mangapara bercat merah putih di Desa Aji Kuning, Kecamatan Sebatik, Kabupaten Nunukan Kalimantan Utara, ini berada di daerah perbatasan Indonesia-Malaysia. Uniknya, teras dan ruang depannya berada di wilayah Indonesia,s edangkan dapurnya berada di atas tanah Malaysia.
Jika ditarik garis antar-patok batas negara, dapur rumah Hasida memang sudah masuk wilayah daratan Malaysia.  

Mapangara (50), suami dari Hasida, mengatakan, mereka menempati rumah yang dahulunya  berfungsi sebagai kantor dan tempat menyimpan biji koko milik ayah angkatnya Ambo Ala  tersebut sejak tahun 2001. Saat itu, dirinya baru pulang merantau dari Malaysia bersama istri dan ketiga anaknya.

Ambo Alla adalah pengepul biji kokoa yang dibeli dari warga Sebatik dan dijual ke Tawau Malaysia.

“Bapak angkat saya masih ada sekarang di Malaysia. Dulu rumah ini, atas untuk kantor, bawah untuk menampung kokoa. Sampai di luar situ kalau penuh,” ujarnya ketika ditemui Kompas.com, Senin (14/8/2016).

Rumah yang ditempati keluarga warga negara Indonesia ini hanya berukuran 3x6 meter dengan dua kamar dan satu ruang yang difungsikan sebagai dapur, kamar mandi dan ruang keluarga.

Merasa sempit, Mapangara kemudian membangun dapur di lahan belakang rumahnya tersebut. Kebetulan pemilik lahan yang persis berada di bantaran Sungai Aji Kuning tersebut adalah kawannya sejak membujang di Sebatik.

Dengan persetujuan kawan lamanya, pada tahun 2004, dia membangun dapur seluas 3x4 meter.

“H Makka itu warga Malaysia, kawan bujang saya sejak tahun 1977 sebelum saya  merantau ke Malaysia. Sekarang sudah meninggal. Sampai sekarang kami tidak dipungut sewa oleh keluarga mereka,” ujar Mapangara.

Tersohor

Pada mulanya tidak ada yang merasa aneh dengan rumah Mapangara yang sebagian berada di wilayah Indonesia, sebagian lagi di Malaysia. Hingga kemudian, nasib rumah yang terbuat dari kayu tersebut berubah drastis ketika hubungan kedua negara memanas karena perseteruan di ambang batas Laut Ambalat Perairan Karang Unarang pada Maret 2005.

Sejak saat itu, kawasan di sekitar rumah Mapangara dipenuhi tentara yang bertugas menjaga kedaulatan NKRI.

“Banyak sekali tentara di sini, sampai membuat barak,” tuturnya.

Sejak saat itu, lanjut dia, banyak sekali jurnalis yang datang berburu berita di sekitar wilayah perbatasan, termasuk di Patok 3 Aji Kuning. Rumahnya menjadi tersohor. Rumahnya kerap mengundang rasa penasaran.

KOMPAS.com/Sukoco Mangapara, pemilik rumah bercat merah putih di Desa Aji Kuning, Kecamatan Sebatik, Kabupaten Nunukan Kalimantan Utara, tak jauh dari Pos Penjagaan Satuan Tugas Pengamanan Wilayah Perbatasan Satgas Pamtas. Teras dan ruang depannya berada di wilayah Indonesia, sedangkan dapurnya berada di atas tanah Malaysia.
Menurut Mangapara, wisatawan, pejabat tinggi militer bahkan hingga sekelas menteri, pernah menginjakkan kakinya di rumah tersebut.

Hasida berkelakar, hanya dengan masuk di rumahnya, orang dari kedua negara tidak akan takut ditangkap aparat karena masuk wilayah negara lain tanpa dokumen perjalanan.

“Setiap hari ada saja orang datang. Bahkan belum kami bangun  orang sudah orang menggambar (memfoto) rumah kami,” ucap Hasida.

Mapangara dan Hasida mengaku tak pernah keberatan dengan kedatangan orang asing di rumah mereka. Saat Kompas.com datang, mereka sedang asyik menikmati makan siang.

Mangapara terus melanjutkan makan siangnya sambil bercerita kisah rumah yang mereka tempati. Menurut pria kelahiran Kota Bone ini, tak hanya orang Indonesia yang penasaran, warga Malaysia juga memiliki perasaan serupa.

”Tapi kalau media dari Malaysia tidak banyak, hanya TV 3 yang meliput,” ungkap Mapangara.

Yang penting anak sekolah

Sehari-hari, bapak tiga anak ini menuturkan, dirinya menghidupi keluarga dari penghasilan sebagai sopir truk pengangkut buah tandan sawit atau material pasir. Namun, sejak truk milik juragan tempatnya bekerja rusak beberapa minggu ini, Mapangara lebih banyak menganggur. 

Sementara itu, istrinya, Hasida, menyokong dengan berjerih payah menerima jahitan baju dari tetangga. Meski pas-pasan, Mangapara mengaku mereka masih mampu hidup dan menyekolahkan anaknya hingga saat ini.

Mangapara bersyukur, dari tiga anaknya, tinggal anak yang paling kecil, Hasmiana, yang masih membutuhkan biaya kuliah di Makasar. Dua anaknya yang lain telah bekerja di Nunukan dan Tarakan.

Namun, Hasida berharap pemerintah mau membantu memberikan beasiswa anaknya yang baru menempuh tiga semester di salah satu universitas di Makassar. Menurut Hasida, sejak SD hingga SMA, prestasi putri bungsunya itu tak pernah keluar dari rangking 10 besar.

“Harapan kami ada yang membantu beasiswanya. Kalau mengharap dari menjahit saja sampai di mana?” ujar Hasida.

Pandangannya menerawang ke ruang depan. Lagu dangdut kesukaan Hasida yang didendangkan oleh Hamdan ATT masih mengalun dari radio di tempatnya duduk sambil menjahit di sudut ruang dapur yang berada di atas tanah Malaysia.

"Sebelum terlanjur, pikir-pikirlah dulu
Sebelum engkau menyesal kemudian
Jangankan gedung gubuk pun aku tak punya
Jangankan permata uang pun aku tiada
Aku merasa orang termiskin di dunia..."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com