Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Suami Sakit, Sriana dan 3 Anaknya yang Masih SD Berjualan Roti Keliling hingga Dini Hari

Kompas.com - 25/07/2016, 07:53 WIB
Andi Hartik

Penulis

MALANG, KOMPAS.com - Sriana (41) sedang menemani anak-anaknya belajar di dalam rumah berukuran 2 x 2,5 meter yang ada di Jalan Muharto, gang 6, nomor 13, RT 13 RW 7, Kelurahan Jodipan, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, Jawa Timur, Minggu (24/7/2016).

Sesekali ia berdiri mengusap wajah suaminya, Suwarno (55), yang tidak lagi bisa beraktivitas karena penyakit saraf yang dialaminya sejak empat tahun yang lalu.

"Suami sakit. Tidak bisa apa-apa," kata Sriana saat ditemui Kompas.com, Minggu.

Praktis, sejak suaminya tak bisa bekerja, Sriana harus menanggung beban hidup keluarga seorang diri. Diceritakannya, sebelum sakit saraf, suaminya bekerja sebagai tukang becak. Selain itu, suaminya juga menerima jasa tukang bangunan.

Namun aktivitas suaminya itu terhenti sejak penyakit saraf menyerangnya pada tahun 2012 lalu. Sriana pun harus mengganti posisi suaminya sebagai sandaran hidup keluarga.

Awalnya, Sriana memenuhi kebutuhan keluarga dengan bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Sayang, Sriana tidak bisa maksimal karena harus menjaga keempat anaknya dan merawat suaminya.

Lalu, Sriana menjadi pemulung. Namun pekerjaan itu juga harus terhenti karena petugas Satpol PP Kota Malang menangkapnya.

"Awalnya saya cari rongsokan. Ditangkap Satpol PP," ungkapnya.

Kondisi itu membuat Sriana terjepit. Hingga akhirnya ia memilih untuk berjualan sandal dengan modal pas-pasan.

"Saya kan punya pengalaman jual sandal. Terus PS punya anak dijual buat jualan sandal. Dulu belinya Rp 1.200.000, terus dijual Rp 500.000," paparnya.

Berjualan sandal tak membuat beban ekonomi Sriana berkurang. Bahkan, ia sempat rugi sampai menjual sebagian barang-barang miliknya.

Tidak hanya itu, Sriana juga tidak mampu memperpanjang kontrakannya yang ada di Jalan Gatot Subroto, gang 2 RT 1 RW 1, Kelurahan Klojen, Kota Malang. Ia pun harus numpang di rumah milik mertuanya.

"Saya satu tahun di rumah mertua," katanya.

Saat ini, sejak seminggu yang lalu Sriana sudah keluar dari rumah mertuanya. Ia dan keluarganya tinggal di rumah peninggalan kakeknya.

Jualan roti keliling

Sebagaimana kepala keluarga, Sriana terus mencari cara untuk mendapatkan penghasilan. Sampai pada akhirnya ada seorang pengusaha roti yang menawarinya untuk berjualan.

Sejak saat itu, Sriana berjualan roti keliling. Mengitari jalan di Kota Malang sembari mendorong gerobak yang berisi roti.

Pekerjaan itu ditekuni Sriana setiap hari. Yaitu mulai pukul 8.00 WIB hingga pukul 13.00 WIB. Lalu mulai berjualan lagi pada pukul 18.00 WIB hingga pukul 01.00 WIB dini hari.

Dalam menjajakan jualannya, Sriana tidak sendiri. Ketiga anaknya, yakni Tri Sutrisno (11) yang masih kelas 4 SD, Kurnia Putri (9) yang masih kelas 3 SD dan Juliastuti (6) yang masih kelas 1 SD selalu menemaninya berkeliling.

Padahal Sriana berkeliling hingga larut malam. Namun ketiga anaknya selalu setia menemaninya. Sementara anaknya yang pertama, yaitu Dwi Kurniawan Putra (16) berada di rumah untuk menemani sang ayah.

"Anak - anak selalu mau ikut. Tidak mau kalau saya tinggal," jelasnya.

Saat ini, Sriana sudah bisa mandiri. Ia sudah memiliki gerobak sendiri berkat bantuan dari mahasiswa di salah satu kampus yang ada di Kota Malang.

Roti yang dijual pun sudah bermacam-macam. Mulai dari roti goreng hingga roti kukus. Roti-roti itu di dapat dari toko roti di Kota Malang.

Setiap roti, Sriana mengambil keuntungan Rp 200. Biasanya, Sriana mendorong gerobaknya mulai dari Jalan Muharto ke Pasar Kebalen, lalu ke Jalan Gajah Mada, terus ke Alun-alun Tugu.

Setelah itu, Sriana melanjutkan mendorong gerobaknya ke Jalan Ijen, lalu ke Jalan Buring, kemudian ke Jalan Merbabu, ke Simpang Ijen dan ke Taman Kunang-kunang yang ada di Jalan Jakarta.

Sriana lalu melanjutkan perjalanan ke Jalan Gede, ke Jalan Wilis dan berakhir di Stadion Gajayana, Kota Malang.

"Setelah dari Stadion, saya langsung pulang," ungkapnya.

Pantang Minta-minta

Meski berjualan roti belum membuat ekonomi Sriana membaik, ia mengaku pantang untuk meminta-minta. Baginya, menjadi pemulung lebih baik dibanding mengemis.

"Boleh cari rongsokan tapi jangan minta. Kalau ada yang kasih, alhamdulillah," tegasnya.

Namun begitu, hingga kini ia belum mendapat solusi terkait pengobatan suaminya. Alhasil, suaminya harus rutin kontrol ke Rumah Sakit Tentara Dr Soepraoen, Kota Malang.

"Kadang dokternya yang datang ke sini," katanya.

Sebenarnya ada cara untuk menyembuhkan penyakit saraf yang diderita suaminya itu. Yaitu dengan menjalani terapi. Sayang, biayanya terlalu mahal hingga ia tak mampu membayar.

"Kalau terapi tidak punya uang. Satu minggu Rp 750.000. Tidak mampu. Dulu terapi cuma dua minggu setelah itu tidak lagi," paparnya.

Sementara itu, Juliastuti, anak bungsu Sriana mengaku senang ikut ibunya keliling berjualan roti.

"Senang ikut ibu. Kalau di rumah tidak enak," katanya.

Namun begitu, saat ia merasa capek di jalan, Ia akan meminta ibunya berhenti dan beristirahat.

"Kalau capek berhenti dulu istirahat," ungkapnya.

Karena selalu ikut ibunya berjualan, Juliastuti selalu tidur dini hari. Tapi hal itu tidak mengganggu sekolahnya. Sebab Pukul 6.00 WIB ia sudah bangun dan berangkat sekolah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com