Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Kakek Antung Merawat Sejarah Suku Tidung

Kompas.com - 10/07/2016, 08:14 WIB
Sukoco

Penulis

NUNUKAN, KOMPAS.com – Tangan Antung (75) yang mulai renta itu telaten menyusuri satu per satu dari ribuan lembar kertas berwarna coklat tua yang sudah termakan usia.

Meski matanya sudah tak awas lagi pengaruh dari operasi mata beberapa waktu lalu, dengan bantuan kaca mata tuanya dia khusyuk mencari literatur sejarah kedatangan suku Tidung di Bumi Borneo.

Dari dokumen yang diperkirakan sudah berusia seabad lebih itu, pria yang masih keturunan Pangeran Gantung, salah satu keturunan ke-7 dari penguasa Kerjaan Tidung, itu berusaha merangkai kembali sejarah leluhurnya yang terasa mulai diabaikan oleh generasi muda.

”Banyak anak muda suku Tidung yang tidak kenal lagi dengan sejarah moyang mereka. Mereka bahkan tidak tahu dari mana asal moyang mereka?” ujarnya, Sabtu (9/7/2016).

Dokumen setebal 40 sentimeter kebanyakan berisi tulisan tangan serta ketikan tentang sejarah keberadaan dan kejayaan kerajaan Tidung, sastra, pusaka kerajaan, adat sitiadat serta hikayat, bahkan huruf asli Suku Tidung itu disebut sebagai peninggalan turun-temurun dari keluarga Antung.

Sebagian halaman merupakan tulisan tangan dari eyang buyut Antung yang terlihat mulai rapuh, sebagaian lagi merupakan ketikan dari Pangeran Gantung di tahun 1909.

Pada beberapa bagian halaman terdapat tempelan kertas putih tulisan Antung untuk memperjelas maksud tulisan. Pada halaman lainnya terdapat halaman pengganti karena halaman lama sudah rusak atau sudah tidak terbaca lagi.

Antung berusaha menambal sulam tulisan yang sudah rusak dan tidak terbaca agar halaman yang rusak tersebut tidak hilang.

“Sebagian terpaksa kami ganti karena sudah tidak terbaca karena rusak. Sebagian lagi saya kasih keterangan untuk memperjelas maksud dari tulisan biar gampang menangkap maksudnya,” imbuh Antung.

Di usianya yang menginjak senja, pria yang memilih tinggal di Jl Makam Pahlawan daerah bekas tambak dekat dengan kuburan bapaknya Patal tersebut masih mengingat detail isi buku yang sudah diwariskan ke beberapa keturunan tersebut.

Hidup Antung yang pas-pasan membuat dia hanya mampu merawat buku sejarah tersebut dengan hanya membungkus buku tersebut dengan dengan kain kuning yang bergambar naga sebagai simbol dari kerajaan Tidung yang pernah berdiri sekitar tahun 1700-an tersebut kemudian menyimpan ke dalam kotak kayu yang juga merupakan warisan keluarga.

Dengan perawatan seadanya, ancaman dokumen tersebut rusak cukup tinggi. Selain melakukan tambal sulam, Antung berharap ada pihak yang tergerak untuk membukukan sejarah keberadaan Suku Tidung di Bumi Borneo.

“Banyak yang datang suruhan dari Negara Brunai, Negara Malaysia, dari pemerintah daerah tapi ya cuma begitu saja. Saya khawatirnya kalau nanti terbakar atau kena banjir,” ujar Antung.

Selain menyimpan buku yang berisi sejarah keberadaan Suku Tidung di bumi Borneo, Atung juga menyimpan silsilah penguasa Kerajaan Tidung. Panjang dokumen tersebut jika dibentangkan mencapai 4 meter dengan lebar 1 meter.

Untuk menjaga agar tidak lapuk terkena air, Antung melapisi dokumen tersebut dengan lakban bening. Meski demikian, di beberapa bagian dokumen tersebut terlihat tulisan yang mulai luntur karena adanya rembesan air.

Meski khawatir rusak, namun Antung mengaku enggan menyerahkan dokumen tersebut ke pemerintah daerah. Dia memilih anak cucunya mempelajari dan merawat dokumen tersebut agar bisa menceritakan kepada keturunannya nanti.

Salah satu keturunan dari penguasa di Kerajaan Tidung lainnya Said mengaku masih banyak artefak dari peninggalan kerajaan Tidung yang disimpan oleh masyarakat seperti pusaka, gerabah, peralatan dapur, gamelan dan benda benda bersejarah lainnya.

Bahkan sebagian dari benda benda peninggalan sejarah tersebut dengan sula rela akan diserahkan kepada pemerintah daerah dengan harapan bisa menjadi koleksi museum. Namun sayang, pemerintah daerah belum menanggapi usulan masyarakat.

”Masih banyak bukti sejarah keberadaan Kerajaan Tidung di Nunukan. Bahkan petilasan kerajaan itu masih ada,” ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com