Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Seorang Ayah yang Dibuang Anaknya pada Malam Takbiran

Kompas.com - 09/07/2016, 08:17 WIB

SURABAYA, KOMPAS.com - Hari Raya Idul Fitri menjadi momen bagi keluarga untuk berkumpul dan melepas kerinduan. Namun tidak bagi Samanto asal Brebeg, Nganjuk.

Pada Hari Kemenangan ini, dia justru dibuang oleh anak kandungnya sendiri di jalan. Hal itu dilakukan pada malam takbiran.

"Takbiran wingi, anakku sing mbarep ngejak metu numpak mobil, aku takok ape dijak nang ndi aku, aku dikongkon meneng ae, ternyata aku didukno nang embong." (Takbiran kemarin anak sulungku mengajak keluar aku lalu diturunkan di jalan)

Samanto sendiri lupa berapa usianya saat ini. Yang dia tahu saat ini berada di Surabaya, tepatnya di Griya Werda, kelolaan Dinas Sosial Kota Surabaya, dan itu bukan karena keinginannya.

Satu yang tak bisa lepas dari ingatannya. Saat semua orang menantikan malam kemenangan melalui gema takbir, saat itu pula ia ditelantarkan oleh anak kandungnya di jalan raya salah satu ruas sudut kota Surabaya.

"Sik iling aku waktu iku, disuruh lungguh nang dalan, terus montore lungo ninggal aku dewean. Onok wong nggawe seragam (Satpol PP), aku diangkut, dideleh kene, anakku mbuak aku (seingatku waktu itu aku disuruh duduk di jalan lalu mobilnya pergi. Kemudian ada orang memakai seragam (Satpol PP)," ucapnya sambil tak terasa air mata mengalir di pipinya, Jumat (8/7/2016).

Samanto mengakui anaknya memang terbilang kejam. Selain membuang dirinya, anaknya juga sempat menyiksa ibu kandung sendiri.

"Aku stroke, anakku kejem. Nang omah mak'e yo di-idek-idek, aku wis ngomong, Nduk iki wong tuwomu, ojok tego ngono (Aku stroke, anakku kejam. Di rumah ibunya juga diinjak-injak, aku sudah bilang, Nduk ini orangtuamu, jangan setega itu)," ucapnya sambil menerawang mengingat kondisi rumahnya di Brebeg, Nganjuk.

Saat ini, karena perlakuan anak sulungnya itu, Samanto tidak tahu kemana istrinya pergi. Keduanya sengaja dipisahkan.

"Nang omah aku gak oleh metu, aku dikongkon nang kamar terus, de'e isin aku loro ngene. Isin karo tonggo, isin karo kancane (Di rumah aku gak boleh kelaur, aku disuruh di dalam kamar terus, dia malu aku sakit seperti ini. Malu dengan temannya)," ujarnya.

Saat tubuhnya masih segar dan kuar, Samanto bekerja sebagai salah satu penjaga keamanan di pabrik makanan ternak.

Sang anak adalah penyemangat dirinya banting tulang mencari rezeki. Ia ingat, saat anaknya masih kecil, Samanto menyisihkan uang untuk membelikan sepeda, meskipun sebenarnya kondisi keuangannya pas-pasan.

Saat anaknya rewel, dia dengan sabar menggendongnya dengan jarik (selendang) agar ia kembali tenang. Saat anaknya sakit, ia ingat betapa ia dan istrinya repot membawanya ke rumah sakit.

"Soale aku wong ra nduwe dadi de'e jahat, aku gak isok ngekei mangan akhire ngomel-ngomel. Bapak njaluk sepuro Nak. Aku wis tau ngomong bolak-balik. Nak, nek bapak karo ibumu nduwe salah njaluk sepuro, omongono bojomu pisan (Soalnya aku orang tak punya jadinya dia jahat, aku tidak bisa memberi makan akhirya ngomel-ngomel. Bapak minta maaf Nak. Aku sudah berkali-kali ngomong Nak bila Bapak dan Ibumu punya salah minta maaf, istrimu kasih tahu sekalian)," kisahnya dengan kembali berdera air mata.

Tadinya, Samanto ingin berlebaran bersama keluarga dan ingin bertemu dengan cucu-cucunya yang kini sedang bertumbuh dewasa. Dia rindu momen sungkem bersama sambil menikmati makanan khas Lebaran. Namun harapan itu sirna.

Halaman:
Baca tentang
Sumber
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com