Di hari pertama gempa, tercatat 3.098 korban tewas dan 2.971 orang di antaranya berasal dari Kabupaten Bantul. Gempa juga meluluhlantakkan 3.824 bangunan, infrastruktur, dan memutuskan jaringan telekomunikasi di Yogyakarta dan Bantul.
Setelah pemakaman, kami kembali ke tenda dan bertemu sejumlah warga. Bersamaan dengan berkurangnya frekuensi dan besaran gempa susulan, makin banyak warga yang kembali ke rumah-rumah mereka.
Dalam pilu di tengah robohnya bangunan dan sejumlah kenangan di dalamnya, kami bahu membahu menata dan membangun hidup baru dengan mempertimbangkan potensi gempa.
Rumah atau bangunan bisa saja roboh karena gempa, tetapi tidak semangat kami untuk menata hidup kembali bersama-sama. Duka memang datang, gelap, pekat, dan berderai air mata. Namun, duka itu tidak tinggal terlalu lama.
Kecepatan Yogyakarta bangkit dari duka karena gempa adalah buktinya.
Kini, setelah sepuluh tahun berlalu, sisa-sisa gempa sebagai peringatan untuk generasi yang tidak mengalami tidak banyak tampak.
Jalan Tamansiswa misalnya. Kawasan di Kota Yogyakarta yang sepuluh tahun lalu parah terdampak gempa kini seperti lupa. Bangunan aneka rupa didirikain, juga di atas puing-puing bangunan yang roboh karena gempa.
Di kawasan lain juga serupa. Peringatan sepuluh tahun gempa ini semoga bisa merawat ingatan akan bahaya gempa dan bagaimana mitigasinya. Mitigasi adalah serangkaian upaya mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Dari Yogyakarta kita belajar, bukan gempa yang membunuh manusia, tetapi bangunan roboh sebagai representasi lemahnya mitigasi atas bencana.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.