Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Merajut Asa Dasawarsa Gempa Yogyakarta

Kompas.com - 26/05/2016, 07:00 WIB
Kontributor Surakarta, Michael Hangga Wismabrata

Penulis

SLEMAN, KOMPAS.com - Sepuluh tahun berlalu gempa magnitudo 6,3 yang meluluhlantahkan Kota Yogyakarta dan sekitarnya.

Banyak kisah memilukan dan hingga saat ini pun masih terpatri dalam kenangan para korban gempa.

Perlahan namun pasti para korban pun mulai menata dan menatap hidup baru. Satu dasawarsa sudah mereka berjuang untuk membangun kembali mimpi-mimpi yang hancur akibat bencana gempa bumi.

Warga RT 02, Desa Nglepen, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, masih ingat dengan jelas bagaimana gempa membuat tanah di desa mereka ambles sedalam kurang lebih tujuh meter.

Gempa yang terjadi pada tanggal 27 Mei 2006 pukul 05.55 WIB tersebut membuat warga desa panik dan berhamburan keluar rumah untuk menyelamatkan diri. Tangisan dan teriakan kepanikan masih melekat dalam ingatan mereka.

Dalam hitungan detik, alam merenggut harta benda dan rumah mereka. Tak ada waktu untuk menyelamatkan secarik kain pun. Hanya baju di badan yang bisa diselamatkan.

"Pas niku kulo nembe ngedusi putu kulo, wong ajeng sekolah. Bibar niku, let sediluk, sitine obah banter sanget. Munggah-medhun ngoten, terus wonten suara banter sanget. Gleerrrr! (Waktu itu saya sedang memandikan cucu, kan mau sekolah. Setelah itu, tak lama kemudian, tanahnya bergerak kencang sekali. Naik-turun begitu, kencang sekali)," tutur Harnorejo (80), salah satu korban gempa di Prambanan, Sleman, kepada Kompas.com, Kamis(5/5/2016) lalu.

"Saya lari keluar rumah, tanah dekat tempat saya ambles, dalam. Rumah ikut ambles. Saya takut sekali, lari. Ketika saya keluar, yang ambles bukan cuma rumah saya," kata Harnorejo dalam bahasa Jawa.

Setelah kejadian memilukan itu, 71 kepala keluarga di Desa Nglepen terpaksa mengungsi. Desa Nglepen terletak di atas perbukitan, dan akibat gempa tersebut, tanah menjadi labil dan rawan bencana. Tidak ada korban jiwa di sana, tetapi kerugian material mencapai ratusan juta rupiah.

 

Tinggal di dome

KOMPAS.com/WISMABRATA Sarana ibadah di kompleks dome di Desa Nglepen, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, Kamis (5/5/2016).

Saat ini, Harnorejo tinggal bersama suaminya di komplek rumah dome bersama 70 KK dari Desa Nglepen lainnya. Bantuan rumah anti-gempa tersebut letaknya sekitar dua kilometer dari desa asal mereka. Masih berada di deretan kaki Perbukitan Seribu, namun lokasi rumah tahan gempa tersebut jauh lebih aman.

Sepuluh tahun para korban gempa tersebut memulai hidup baru, di rumah dome atau saat ini dikenal dengan sebutan rumah "teletubbies". Bentuknya yang menyerupai rumah tokoh kartun Telletubbies di televisi, membuat tempat tinggal Harnorejo lebih dikenal dengan nama tersebut.

"Dulu ya kepepet, ya senang. Kepepet, kan dibantu rumah, lagi pula bentuknya kok aneh. Senang, tapi ya kepepet. Sekarang sudah biasa, enggak masalah," kata Harnorejo.

Tinggal dirumah "teletubbies" selama 10 tahun tidak bukan hal mudah bagi setiap warga pengungsi dari desa tersebut. Rumah dengan konstruksi khusus tahan gempa tersebut berdimensi garis tengah 7 meter, tinggi 4,6 meter dan luas 36 meter persegi.

Bentuk rumah setengah lingkaran tersebut memiliki dua lantai. Lantai bawah terdiri dari satu kamar tamu, dua kamar tidur, satu dapur. Sedangkan untuk lantai atas berupa ruangan kosong biasanya digunakan sebagai gudang.

Sakiran (40), salah satu warga di kompleks dome menceritakan pengalaman pertamanya saat tinggal di rumah dome tersebut.

"Bentuknya kan setengah bulat dan kalau bangun tidur, sering lupa arah mata angin, mana selatan mana utara, pas keluar kita sering keblasuk (salah jalan) maunya ke depan, eh, malah ke pintu belakang," kata Sakiran saat berbincang dengan Kompas.com.

"Ada juga tetangga pas awal awal tinggal di sini karena MCK-nya jauh dan belum ada pepohonan, masih sama plek bentuknya, habis buang air di kamar mandi umum yang jaraknya kurang lebih 25 meter, saat pulang salah masuk rumah, dan kaget, lho kok beda semuanya," kata Sakiran.

Sebanyak 250 jiwa dari 71 KK sudah bersama sama tinggal di kompleks "teletubbies". Jumlah KK yang masih sama saat bersama-sama mengungsi dari lokasi bencana.

Bercocok tanam

Aktivitas warga pun masih tetap sama, bercocok tanam. Begitu juga dengan kegiatan sosial juga masih dilakukan oleh warga kompleks dome, sama saat masih tinggal di desa sebelum gempa. Namun saat ini agak sedikit berbeda, ujar Sakiran.

"Kita masih sering adakan pertemuan warga, namun karena ruang tamunya sempit, jadi kita tidak bisa di dalam rumah, di jalan. Nah, kalau pas musim hujan, itu yang repot," kata Sakiran.

Sakiran juga menjelaskan bagaimana repotnya menaruh hasil pertanian di rumah mereka. Keterbatasan jumlah ruangan dan sempitnya lahan menjadi masalah. Berbeda dari bentuk rumah mereka dahulu yang masih ada lahan kosong atau gudang untuk menyimpan hasil pertanian.

"Warga profesinya adalah petani dan kebiasaan menyimpan hasil tani sempat membuat kami bingung, harus disimpan dimana, karena rumahnya kecil dan tidak ada ruangan luas," katanya.

Kompleks rumah dome dibangun pada tahun 2006 dan merupakan bantuan dari sebuah organisasi non-pemerintah Domes for the World Foundation bagi para korban gempa, khususnya warga Desa Nglepen. Terdapat 80 unit dan 71 unit di antaranya untuk hunian, sementara lainnya untuk fasilitas umum seperti MCK, tempat ibadah, dan fasilitas kesehatan.

Kompleks dome atau rumah setengah lingkaran atau tenda itu diresmikan oleh Menteri Permukiman Hidup Alwi Shihab pada tahun 2007. Kompleks rumah dome tersebut menjadi satu satunya yang ada di Indonesia bahkan di Asia.

Mulai bangkit

KOMPAS.com/WISMABRATA Figur Teletubbies menjadi ikon wisata di kompleks rumah dome di Desa Nglepen, Prambanan, Sleman, DI Yogyakarta, Kamis (5/5/2016).

Lokasi rumah "teletubbies" berada di perbatasan antara Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, Klaten. Jarak tempuh dari pusat kota Yogyakarta kurang lebih dua jam sampai ke lokasi. Kurang lebih waktu tempuh hampir sama apabila berangkat dari Kota Solo.

Tidak terlalu sulit untuk mencari lokasi rumah "teletubbies" tersebut, karena semenjak mendeklarasikan sebagai Desa Wisata, rumah Dome Teletubbies menjadi buah bibir.

Pemerintah daerah Sleman memasang papan penunjuk arah menuju lokasi. Desa Wisata Rumah Teletubbies, Desa Nglepen, menjadi salah satu destinasi wisatawan lokal maupun mancanegara.

Sulasmono (25), salah satu warga rumah "teletubbies" menceritakan kondisi kejiwaan warga Nglepen sangat terpukul pasca-gempa dahsyat tersebut. Harta benda dan kemapanan yang diperoleh meski hidup terpencil di kaki perbukitan seribu seakan terenggut secara tiba-tiba oleh bencana alam.

"Masih ada yang tidak terima, karena pas itu termasuk orang kaya dan memiliki rumah besar berkeramik, namun tiba-tiba harus tinggal di pengungsian dan setelah itu tinggal di rumah yang 'aneh', sempit dan sama dengan yang lainnya," kata Sulasmono saat menemani Kompas.com berkeliling kompleks.

Sulasmono menambahkan secara bersama-sama, meskipun kadar traumanya berbeda, warga Nglepen berusaha untuk bangkit. Bangkit mengalahkan trauma yang tidak bisa dihindari, dan mulai untuk melangkah kembali.

Hubungan persaudaran yang kuat dan solidaritas tinggi membuat warga bahu-membahu dan menghadapi bersama-sama masalah yang ada.

"Saat itu kita harus membayar uang sewa karena kompleks ini kan di atas tanah kas desa, jadi kita harus berpikir membayarnya. Saat itu, kita menarik uang parkir dari para pengunjung atau wisatawan yang datang untuk melihat rumah dome," kata Sulasmono.

Dalam perkembangannya, semakin banyak wisatawan yang datang dan mencari informasi terkait keberadaan rumah dome. Saat itulah muncul ide untuk menjadikan lokasi pengungsian warga Nglepen menjadi sebuah Desa Wisata Nglepen atau rumah "teletubbies".

Sakiran dan Sulasmono, pionir Desa Wisata rumah teletubbies, menceritakan latar belakang desa wisata tersebut.

"Tiga tahun menjadi pengungsi dan harus dibebani uang sewa, sedangkan kita waktu itu belum ada pekerjaan tetap pasca-gempa, kita melihat peluang. Banyaknya tamu yang datang dan bertanya-tanya tentang dome, maka pada tahun 2009, kita wujudkan menjadi Desa Wisata. Syukurlah, ide kita tersebut disambut baik oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Sleman," kata Sakiran.

Selain untuk memenuhi uang sewa, tambah Sakir, ternyata seiring dengan waktu, desa wisata menjadi obat mujarab untuk memulihkan trauma. Desa Wisata juga membuka kesempatan penghuni rumah "teletubbies" menambah pendapatan sehari-hari.

"Ada keuntungan, yang pertama banyaknya tamu yang datang, membuat warga sering berinteraksi dengan orang-orang dari daerah lain, dan itu membuat warga percaya diri. Selain itu, banyak warga membuka toko kelontong untuk melayani para wisatawan yang berkunjung ke kompleks kami," kata Sakiran.

Sulasmono yang ditunjuk menjadi Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Nglepen mengatakan, Desa Wisata juga memberikan kesempatan kerja bagi para warga.

"Daripada pulang sekolah hanya nongkrong, bisa membantu di sini dan mendapatkan penghasilan," kata Sulasmono.

Berbagai kegiatan terkait pengelolaan Desa Wisata diikuti oleh warga untuk mewujudkan desa wisata "teletabbies" semakin maju dan profesional.

"Setiap tiga bulan kita kirim orang untuk mengikuti acara pelatihan atau pelatihan, sehingga kita semakin tahu bagaimana membenahi desa wisata," kata Sulasmono.

Sejak 2009 ditetapkan menjadi Desa Wisata, warga sendiri juga terpacu untuk menjaga aset utama desa wisata Nglepen, yaitu rumah "teletubbies".

"Ada perubahan perilaku yang terlihat dari warga penghuni, misalnya dalam hal membuang sampah. Karena sudah menjadi Desa Wisata, kebersihan salah satu andalannya, maka warga tidak sembarang membuang sampah. Ini berbeda dengan dulu, sebelum gempa, kadang kita asal buang sampahnya, namun saat ini tidak," kata Sakiran.

Untuk menunjang fasilitas Desa Wisata, Sulasmono dan Sakirman serta warga juga membuat arena taman bermain anak-anak, menghiasi sejumlah dome dengan mural yang unik dan lucu, seperti dengan gambar tokoh kartun "teletubbies". Bahkan juga menyewakan kostum boneka tokoh "teletubbies" seperti Poo, Lala, Dipsi, dan Tinky Winky.

"Kita ke depan memang ingin menguatkan brand rumah 'teletubbies' menjadi daya tarik, bahkan kita juga ingin mengajak warga di dalam kompleks untuk menyesuaikan desain tambahan di rumah mereka dengan senada bentuk lingkaran," kata Sulasmono.

Tidak hanya di dalam kompleks yang berdandan menjadi Desa Wisata, namun saat berkunjung ke rumah "teletubbies", wisatawan akan diajak menikmati suasana sunset di atas bukit "teletubbies". Dari atas bukit, pengunjung bisa menikmati keindahan pemandangan alam dan tentu saja melihat kompleks rumah "teletubbies".

Perjalanan menuju atas bukit "teletubbies" cukup menantang. Saat menuju ke atas bukit, pengunjung juga akan dapat melihat lokasi gempa yang membuat 71 kk desa Nglepen harus mengungsi. Jalannya cukup terjal dan berbatu, namun itu akan terbayar saat melihat keindahan alam di bukit teletubbies.

Berkah alam

Setelah 10 tahun berlalu dari bencana gempa bumi di wilayah DIY, tidak ada lagi wajah muram dan kekecewaan saat Kompas.com berbincang dengan sejumlah warga di rumah "teletubbies" di Desa Nglepen, Prambanan, Sleman.

Suasana hangat dan sejuk terasa saat pertama kali masuk ke gerbang bertuliskan "Selamat datang di New Nglepen". Kata "new" sengaja ditambahkan karena diharapkan menjadi niatan bagi warga korban gempa untuk memulai hidup dan semangat baru.

"Refleksi bagi saya pribadi mas, setelah 10 tahun ini bahwa bencana membawa berkah. Bencana gempa tidak bisa kita hindari, namun ternyata Tuhan mempunyai rencana lain, dan itu saya yakini yang terbaik, minimal bagi saya dan saya harap juga warga yang lain," kata Sakiran.

"Dulu kita tinggal di atas bukit, jauh dari keramaian dan seakan terpencil, setelah gempa, kita justru didatangi banyak orang dari berbagai daerah, bahkan orang asing, dan kita tidak lagi bergantung dari hasil tani. 180 derajat berubah dan kita bersyukur bisa bangkit," kata Sakiran.

Harnorejo pun berpendapat demikian. Meski hanya tinggal dengan suaminya, dirinya merasa untung bisa dibantu dan mendapat rumah unik.

"Mboten saget kesupen niku. Ning sak punika pun mboten masalah, seneng, saget nyawang anak putu pun seneng," kata Harnorejo.

Sementara itu, Sulasmono berharap, Desa Wisata New Nglepen akan terus berkembang.

"Pekerjaan rumahnya masih banyak mas, masih bisa terus berkembang dan kita harapkan dukungan segala pihak untuk bisa mandiri dan tentu saja membantu para korban gempa di Nglepen bangkit," kata Sulasmono.

Nantikan berita-berita khusus tentang 10 tahun gempa Yogyakarta mulai Jumat (27/5/2016) besok.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com