Restu dari orangtua menjadi motivasi Ming Chu untuk mengeksplorasi keahliannya membudidaya tarantula agar punya nilai ekonomis. Tergabung bersama komunitas Tarantula Keeper Indonesia, ia mendapat banyak pesanan tarantula.
"Tahun 2012 saya mulai jual, awalnya hanya di lingkungan komunitas, tapi mulai berkembang, sampai saya mendapat pesanan hingga Eropa seperti Inggris, Polandia, Jerman dan Swedia," ungkapnya.
Mendapat 14 gigitan tarantula
Meski mencintai tarantula, Ming Chu sadar akan bahaya yang dia hadapi. Puluhan taring dan racun tarantula pernah menancap di bagian tangannya. Efeknya beragam, dari mulai hanya kesemutan hingga harus masuk ruang gawat darurat.
"Yang saya ingat sudah 14 kali digigit tarantula. Pertama kali saya kegigit sama tarantula racunanya rendah hanya kesemutan setangan, semalam hilang hanya dikompres pakai es," ujarnya.
"Tahun lalu, pas malam imlek saya terima paket kiriman tarantula. Saya keluarin tarantulanya, saya ceroboh tangan saya kegigit jenis poecilotheria formosa (high venom) hingga masuk rumah sakit. Badan mendadak menggigil, meriang, saya tak bisa tidur semalam suntuk," lanjutnya.
Meski begitu, ia tak pernah kapok. 14 gigitan tarantula tak mengubah pandangannya tentang tarantula sebagai hewan yang eksotis dan lucu.
"Memang perlu kehati-hatian, jangan ceroboh. Tapi tarantula tidak punya bisa mematikan, masih jauh lebih rendah daripada bisa ular. Walaupun pernah digigit, saya tetap sayang sama mereka," jelasnya.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan