Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bangkai Ikan yang Diduga Pesut Ternyata "Porpoise"

Kompas.com - 24/04/2016, 19:19 WIB
Dani Julius Zebua

Penulis

BALIKPAPAN, KOMPAS.com — Temuan bangkai mamalia air di Pantai Sosial, Kecamatan Lamaru, Balikpapan, Kalimantan Timur, mengejutkan pemerhati konservasi. Mereka terkejut dengan kabar bahwa mamalia air itu adalah pesut, satwa langka dengan status dilindungi.

Namun, pegiat hewan mamalia air dari Yayasan Rare Aquatic Species of Indonesia (RASI), Danielle Kreb, meyakini bahwa bangkai ikan di Pantai Sosial itu porpoise yang masuk dalam ordo Cetacea. Lumba-lumba dan paus termasuk dalam ordo ini.

"Porpoise punya ciri tanpa sirip belakang, dalam bahasa Inggris dinamai finless porpoise. Bahasa latinnya Neophocaena phocaenoides," kata Danielle, Minggu (24/4/2016).

Danielle mengatakan, temuan porpoise sangat berarti untuk menjelaskan kondisi habitat hidupnya saat ini di perairan Balikpapan. Sayangnya, porpoise ditemukan telah membusuk. Hal ini menyebabkan porpoise tak bisa diteliti dengan mendalam.

"Satwa ini hidup di daerah pesisir dangkal. Ia paling cepat kena dampak dari pembangunan pesisir. Jadi, kalau belum membusuk, kita bisa otopsi dan mengetahui sebab kematiannya. Dari sana, kita bisa tahu seberapa akumulasi polutan di perairan, seberapa tercemar kawasan itu," kata Danielle.

Porpoise memiliki panjang 75-85 sentimeter ketika lahir. Saat dewasa, panjang mamalia ini bisa mencapai 2 meter, dan dalam beberapa kasus mencapai 2,2 meter. Porpoise hidup di perairan hangat. Satwa ini masuk dalam daftar hewan dilindungi.

Hewan ini disebut pemalu. Mereka menjauh bila didekati. Warga sering salah membedakan antara pesut, lumba-lumba, dan porpoise.

"Yang lain adalah sirip belakangnya. Bahkan, di kasus tertentu, warga pernah menyamakannya dengan anjing laut," kata Danielle.

Tiga pelajar yang sedang berkemah menemukan porpoise tak jauh dari lokasi kemah, Sabtu (23/4/2016) siang. Panjangnya 120 sentimeter. Mereka memotret bangkai. Fotonya lalu diunggah ke Instagram.

Mereka menulis bahwa bangkai itu adalah pesut. Pesan itulah yang mengagetkan para pemerhati konservasi di Balikpapan. Usai mengunggah foto itu, ketiganya mengubur porpoise ini tak jauh dari lokasi penemuan.

(Baca juga: Bangkai Mirip Pesut Ditemukan Pelajar Saat Berkemah di Pantai)

Tim konservasi dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kaltim, Badan Pengembangan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Balikpapan, dan para aktivis yang tergabung dalam Forum Pemerhati Teluk Balikpapan mendatangi lokasi, Minggu pagi.

Tak banyak yang dilakukan tim itu. Karena bangkai porpoise dinilai telah begitu membusuk, tim hanya mengukur panjang, mengambil sampel dari kulit luar porpoise, lantas menguburnya kembali.

"Kami kirim sampel ke LIPPI untuk tes DNA," kata Kepala BPSPL Satuan Kerja Balikpapan Ishak Yusma.   

Habitat rusak

Laporan pertemuan antara manusia dan binatang langka ataupun dilindungi semakin sering terjadi di sekitar Teluk Balikpapan. Kelompok warga yang tergabung dalam Forum Pemerhati Teluk Balikpapan (FPTB) mencatat tiga pertemuan dalam satu bulan belakangan ini.

Paul, pemerhati teluk sekaligus salah satu anggota FPTB, mengungkap, akhir Maret 2016 lalu, tiga lumba-lumba hidung botol Indo-Pasifik (Tursiops aduncus) tersesat di pembuangan permukiman warga di Perumahan Graha Indah. Satu lumba-lumba akhirnya mati.

Warga juga menemukan dua penyu hijau tersesat di kawasan hutan bakau (mangrove) di teluk ini, minggu lalu. Salah satunya masuk ke permukiman warga dan berhasil diselamatkan.

"Dalam satu bulan, ada tiga pertemuan dengan binatang langka. Yang ketiga adalah ini, ikan ini, meski dalam kondisi mati," kata Paul.

Ia menambahkan, banyak pertemuan lain terjadi, mulai dari pertemuan nelayan dengan buaya di muara sungai ataupun di laut, hingga kemunculan ikan hiu.

Paul mengatakan, temuan ini menunjukkan, habitat hewan semakin terganggu. Ia meyakini, perkembangan permukiman, kota, serta industri di dalamnya telah mengganggu habitat alami yang sudah lebih dulu ada. Perkembangan kota dirasa tidak ramah pada habitat yang ada. Akibatnya, pertemuan terus terjadi.

"Nelayan mulai mencemaskan kehadiran buaya yang sesekali terlihat dan merusak renggek (jaring ikan). Mereka juga cemas pada kemunculan hiu yang dekat dengan tempat mereka menebar renggek," kata Paul.

"Sekarang tinggal menunggu siapa yang lebih dulu menjadi korban," kata Paul.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com