Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mau Jantan atau Betina, Tinggal Tekan Tombol Saja

Kompas.com - 11/04/2016, 19:45 WIB
Slamet Widodo

Penulis

TRENGGALEK, KOMPAS.com - Kabupaten Trenggalek Jawa Timur yang terletak di bagian selatan pulau Jawa terkenal akan potensi wisata pantainya. Salah satunya adalah taman Kili Kili yang berada di kecamatan panggul kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Di tempat ini terdapat konservasi hewan dilindungi yakni penyu.

Dengan adanya pantai taman Kili Kili ini, sejumlah peneliti dari berbagai universitas tertarik dengan keberadaan penyu yang sering bertelur.

Kondisi suhu cuaca panas yang terjadi di sepanjang pantai selatan akibat pemanasan global tahun ini, berdampak pada populasi pertumbuhan telur penyu di pantai taman Kili Kili Kecamatan Panggul Kabupaten Trenggalek Jawa timur.

Guna merekayasa jenis kelamin tukik di kawasan penangkaran penyu ini, terdapat sebuah alat yakni inkubator penetas telur penyu otomatis yang dinamakan Maticgator.

Alat ciptaan mahasiswa Universitas Brawijaya Malang ini  mampu merekayasa jenis kelamin tukik yang ingin ditetaskan..

Salah satu penemu alat penetas telur penyu otomatis Paundra Noorbaskoro menjelaskan awal mula ide temuan ini kepada kompas.com.

“Berawal masalah kondisi di lapangan, dimana menghadapi fenomena pemanasan global saat ini, kebanyakan suhu permukaan pantai meningkat, yang dipengaruhi pula suhu permukaan pasir juga meningkat. Berdasarkan berbagai data dan riset yang kita lakukan, apabila suhu 32 derajat ke atas kelahiran penyu cenderung betina. Untuk jantan dibutuhkan 27 hingga 29 derajat. Dari situlah akhirnya kami berupaya menciptakan alat maticgator ini," ucap Paundra.

Alat penetas telur penyu ini sangat berguna di pantai taman Kili Kili. Dengan kondisi cuaca panas akibat pemanasan global, penetasan secara alami hanya menghasilkan penyu jenis kelamin betina. Padahal, penyu jantan sangat dibutuhkan, karena penyu betina membutuhkan enam penyu jantan untuk pembuahan.

Adapun cara kerja maticgator ini pertama-tama memindahkan telur dari pantai ke wadah kotak kayu, kemudian dimasukkan ke dalam alat penetas telur.

Selanjutnya, tinggal tekan tombol dan pilih jantan atau betina. Secara otomatis suhu temperatur dalam alat ini akan terseting. Proses penetasan dalam alat ini sama dengan proses penetasan alami, yaitu berkisar antara 50 hingga 52 hari.

“Proses pengoperasian alat penetas ini sangat mudah, hanya terdapat beberapa tombol. Setelah power dinyalakan, tinggal tekan betina atau jantan,” kata Paundra.

Kini, dengan alat penetas telur penyu otomatis ini dampak cuaca apapun dapat diatasi guna menjaga pertumbuhan populasi penyu. Alat ini sebelumnya sudah diuji, dan tingkat keberhasilan mencapai 90 persen.

Namun, masih ada beberapa kekurangan pada alat penetas ini, yaitu di bagian kelembapan belum bisa di seting secara stabil dan masih butuh perbaikan.

“Untuk kendala ada beberapa, karena alat ini masih versi satu. Utamanya masalah di bagian kelembaban, belum bisa diseting secara stabil dan masih butuh perbaikan,” ucapnya.

Sementara itu, pengelola kawasan pantai taman Kili Kili, Eko Margono, menyebutkan, awalnya warga sekitar pantai taman Kili Kili tidak sepakat dengan adanya konservasi penyu ini, karena secara tidak langsung telah menghilangkan mata pencaharian sebagai pencari telur penyu.

Namun, setelah diberikan informasi dan edukasi tentang pentingnya keberadaan penyu ini.

“Awal mulanya warga sekitar tidak sepakat dengan berdirinya konservasi penyu ini. Setelah kami beri wawasan tentang hewan dilindungi, akhirnya warga bisa paham dan ikut andil dalam proses menjaga kelestarian alam dan pertumbuhan penyu,” katanya.

 

Kompas TV Polisi Gagalkan Penyelundupan Penyu
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com