Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wajah-wajah Muram di Aceh Singkil...

Kompas.com - 28/03/2016, 23:34 WIB
Kontributor Medan, Mei Leandha

Penulis

SINGKIL, KOMPAS.com – Berlatar puing-puing bangunan Gereja Kristen Pak-Pak Dairi (GKPPD) Desa Tuh-tuhan, Kecamatan Simpang Kanan, Kabupaten Aceh Singkil, guru jemaat N Lumbangaol mengisap rokok kreteknya dalam-dalam. Dahinya berkerut. Pikirannya menerawang jauh, mengenang peristiwa yang tak ingin diingatnya lagi.

"Kami hanya bisa menonton saja waktu itu. Sebagian tak mampu menahan tangis, perempuan dan anak-anak histeris, tapi gereja kami tetap dirobohkan. Hancur, sehancur hati kami, seperti tak berharga dan tak ada lagi harapan," kata pria paruh baya itu dengan bibir bergetar, Minggu (27/3/2016).

Semua warga jemaat terdiam, turut haru. Anak-anak yang awalnya hiruk-pikuk bermain pun seketika senyap. Wajah mereka muram. Mereka seperti sedang kembali pada peristiwa duka di 13 Oktober 2015.

(Baca Pembakaran Rumah Ibadah yang Diduga Tak Berizin Picu Bentrok Warga di Aceh Singkil)

Waktu itu, kata Lumbangaol, aparat Kepolisian Sektor Simpang Kanan di depan kepala desa memberitahukan bahwa gereja itu akan dirobohkan. Jemaat dan masyarakat diminta menghindar serta tidak melakukan perlawanan.

Lumbangaol bertutur, kejadian semacam itu tidak pernah terjadi ketika Aceh masih satu wilayah administrasi dengan Sumatera Utara. Hingga tiga dasawarsa setelah tempat ibadah itu didirikan pada 1948, tidak ada yang mempersoalkan keberadaannya.

"Aceh berpisah dengan Sumatera Utara pada 1956, berarti jauh sebelumnya gereja ini sudah ada. Makanya peristiwa konflik agama di Aceh seperti peristiwa tahun '68 dan '79, gereja ini tidak pernah diganggu. Belakangan ini kenapa diganggu?" kata Lumbangaol.

Gereja itu dirobohkan karena dianggap tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB). Lumbangaol mengatakan bahwa seharusnya, sesuai Surat keputusan bersama (SKB) Dua Menteri, bangunan bersejarah tidak boleh diganggu lagi dan ini berlaku secara otomatis.

Ia menyatakan bahwa keberadaan gereja itu merupakan kebutuhan nyata di sana sebab sebagian besar penduduk setempat beragama Nasrani. Setidaknya ada 137 kepala keluarga atau 666 jiwa yang terlayani oleh tempat ibadah tersebut.

Maka itu, ia heran mengapa gereja yang sudah lama ada itu tiba-tiba dipermasalahkan soal izin pembangunannya.

"Alasan mereka waktu itu karena sudah ada kesepakatan (perobohan), kesepakatan yang mana?" tanyanya.

Lumbangaol merasa bingung karena ia tidak pernah diundang, tidak pernah melakukan, dan menyetujui kesepakatan yang dimaksud tersebut.

Keheranannya semakin menjadi karena rupanya kesepakatan itu melibatkan nama-nama warga Kristen yang gerejanya tidak dirubuhkan.

Dia berharap pemerintah kembali membangun GKPPD Desa Tuh–tuhan sebagai bentuk pertanggungjawaban pemerintah terhadap masyarakatnya.

Menurut dia, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk meniadakan bangunan gereja itu karena selain kebutuhan nyata, semua syarat yang diatur dalam SKB Dua Menteri dan Pergub Pendirian Rumah Ibadah sudah terpenuhi.

"Kami melihat ini bukan program pemerintah, ada sekelompok ormas yang mendesak pemerintah untuk melakukan ini. Pemerintah terlalu mudah digoyang ormas, inilah jadinya, masyarakat juga yang korban," katanya.

Dipertanyakan

Pastoral Keuskupan Sibolga Elvina Simanjuntak juga mengeluarkan pernyataan tegas. Perempuan berkacamata ini mengatakan, sejak awal sikap keuskupan tidak bisa menerima pembongkaran dua gereja Katolik dari empat bangunan di Aceh Singkil. Gereja yang dibongkar itu adalah Gereja Stasi Mandumpang dan Stasi Lae Mbalno.

Dia mempertanyakan sikap aparat keamanan, baik TNI, polisi, maupun satuan polisi pamong praja, yang menganggap tindakan menghancurkan rumah ibadah adalah kewajiban.

"Seharusnya aparat menjamin semua orang untuk bebas beragama, bukan malah seperti tak bersalah menghancurkan rumah ibadahnya. Kami punya kesan, kok pemerintah bisa didikte dengan kekuatan intoleran, ini sangat kami sesali," kata Elvina.

Dia meminta pemerintah sedapat mungkin menjamin ketenangan warga untuk menjalankan ibadah. Bagaimanapun juga, masyarakat Aceh Singkil adalah warga Indonesia dan punya hak untuk menjalankan ibadahnya masing-masing.

Pasca pembongkaran, jemaat Stasi Lae Mbalno menumpang di gereja terdekat yang jaraknya sekitar 10 kilometer. Adapun jemaat Stasi Mandumpang menumpang ke gedung GKPPD.

"Waktu pembongkaran, saya bersama pastur sedang berada di lokasi. Kami melihat langsung pembongkaran. Keluarga jemaat banyak yang trauma. Kita sedang usahakan izin dua stasi yang masih berdiri, baru menyusul yang dirobohkan," kata Pemuda Katolik Aceh Singkil Jimmy Tarigan.

Jimmy menyebutkan, sejauh ini pengurusan izin sudah hampir rampung 90 persen. Adapun proses pelimpahan tinggal menunggu hasil dan niat baik dari pemerintah setempat.

Ia berharap pemerintah setempat mengambil jalan terbaik dan memberikan solusi agar 1.003 umat Katolik di sana dapat tetap beribadah di wilayah mereka tinggal.

"Kami tidak mau keempat gereja kami berkurang, salah satunya karena gereja ini berdiri sejak 1963. Jadi jauh dari pergub dan peraturan pemerintah yang ada saat ini," ucap Jimmy.

Menunggu campur tangan Jakarta

Mengenai IMB, warga GKPPD Desa Kuta Tinggi menengarai bahwa syarat itu mengada-ada sehingga tidak akan diberikan jika tidak ada campur tangan pusat, pemerintahan di Jakarta, khususnya Presiden.

Mereka sudah berulang kali mencoba mengurusnya. Akan tetapi, upaya itu terbentur ketentuan adanya tanda tangan dari 120 warga dari agama lain di wilayah yang hampir seluruhnya mayoritas Kristen tersebut.

"Ini akal-akalan mereka biar kami enggak bisa mengurus IMB. Kami ini dipermainkan," kata perwakilan masyarakat, Sloli Manik.

Tidak adanya dukungan dari masyarakat setempat inilah yang membuat 425 jiwa jemaat GKPPD Kuta Kerangan sampai saat ini hanya bisa bermimpi gerejanya berdiri seperti zaman nenek moyangnya dulu. Harapan mereka pada pemerintah Kabupaten Aceh Singkil sudah padam.

Ia menuturkan, sebelum Aceh Singkil menjadi kabupaten dan masih dalam wilayah Kabupaten Aceh Selatan, sudah berkali-kali mereka mengurus IMB ke Bupati Aceh Selatan. Hasilnya nihil, izin tak pernah diberikan. Maka itu, harapan satu-satunya hanya ada pada ketegasan pemerintah pusat.

"Kalau tidak ada bantuan pusat, tak akanlah kami dapat keadilan. Tolonglah perjuangkan nasib kami," ujarnya.

Para orang tua yang berkumpul di gereja darurat dengan atap dari terpal biru bocor di sana-sini itu berkisah, mereka sudah menjalani duka konflik agama sejak 1979. Ada perjanjian bahwa hanya lima gereja yang boleh berdiri di Aceh Singkil. Proses itu berlanjut pada penutupan pada 2001 dan penyegelan pada 2012 dengan alasan yang sama, yakni masalah IMB.

"Padahal gereja di Huta Tinggi hanya ini satu-satunya, GKPPD ini ada sejak dulu. Gereja terdekat jaraknya lima kilometer dari sini. Ini gereja juga peninggalan Belanda," kata Manik.

Tetap bertahan

Desa Huta Tinggi, Kecamatan Simpang Kanan, hanya punya satu gereja, yaitu GKPPD. Rumah ibada ini sudah ada sejak 1943 dan dirintis oleh Belanda.

Kini gereja itu tinggal nama dan kenangan. Para jemaat membangun tenda darurat, bertiang bambu, dan beratap terpal biru. Tiga bulan berdiri, atapnya sudah bolong-bolong lapuk.

Tak ada penerangan di sana. Ibadah hanya bisa dilakukan saat terang. Itu pun sudah mau dibongkar, tapi kaum perempuan berdiri di depan melawan.

"Kami tidak minta banyak, hanya kebebasan beragama dan beribadah saja. Janji-janji pemda, kami sudah tidak percaya lagi. Kami mau tanya, apakah beribadah itu harus ada surat izin? Persyaratan yang bagaimana lagi harus kami penuhi? Anak-anak kami beribadah jadi tidak bisa," kata Masda beru Berutu memakili para perempuan.

Perempuan bertubuh mungil itu mengatakan, mereka membangun gereja dari dana hasil menjual daun ubi, rebung, dan semua yang ada di ladang. Mereka tidak meminta-minta atau mendapat bantuan. Semua dibangun dari hasil keringat sendiri.

"Kami tidak mengganggu, kami tidak mengemis, bahkan kami menghargai, apa salah kami? Kenapa kami tidak dihargai?" tanyanya.

Semua perempuan itu merasa keberadaan mereka hanya dianggap dan diperlukan ketika pemilihan kepala daerah. Mereka sudah kenyang oleh janji-janji manis tentang perdamaian dan jaminan keamanan beribadah.

"Kaum ibulah yang paling sakit atas permasalahan ini. Kami yang menggendong anak-anak. Kami akan bertahan dan siap mengungsi kembali jika dibongkar tenda kami," kata Masda.

Dirinya bersama para kaum ibu sudah menyiapkan diri jika memang harus mengungsi kembali. Karung-karung berisi pakaian siap diangkat.

Mereka tidak takut bakal kelaparan karena yakin bahwa mereka akan disambut dan diperlakukan baik di tempat pengungsian.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com