Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Waruga, Sejarah Orang Minahasa

Kompas.com - 17/03/2016, 22:36 WIB
Madina Nusrat

Penulis

MINAHASA, KOMPAS.com - Peti-peti batu sisa peninggalan kebudayaan Megalitikum berbaris seorang ke kiri arah utara di areal cagar budaya Taman Waruga di Desa Sawangan, Kecamatan Airmadidi, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, Kamis (17/3/2016).

Peti-peti yang dikenal sebagai Waruga itu berumur hampir 20 abad dan hingga kini masih terjaga.

Waruga atau peti batu adalah tempat menguburkan jasad orang Minahasa di masa lampau, atau diperkiraka sekitar abad 8 Masehi.

Biasanya peti-peti batu itu ditempatkan di depan rumah dengan menghadap ke utara. Namun oleh pemerintah Belanda pada abad 18, beberapa peti batu itu dikumpulkan di satu taman tempat Taman Waruga berada saat ini.

Menurut juru pelihara Taman Waruga, Anton Jatuna (49), pemerintah Belanda pun akhirnya menghentikan pemusatan waruga pada satu lokasi. Sebab jasad yang disimpan dalam peti itu kemudian membusuk dan menyebabkan penyakit kolera.

"Sejak itu pemerintah Belanda juga mencegah orang Minahasa untuk menguburkan jasad di waruga," jelas Anton.

Hanya hingga saat ini, kata Anton, waruga masih bisa ditemui di sebagian rumah warga yang ada di pedesaan. Waruga masih dihormati sebagai peninggalan leluhur oleh sebagian warga Minahasa.

Untuk memahami waruga, terpasang relief cara menempatkan jasad di dalam peti batu itu di jalan masuk ke Taman Waruga. Pada relief itu digambarkan jasad yang meninggal, tubuhnya ditekuk dengan posisi duduk jongkok dan paha menempel dada.

Jasad itu kemudian ditempatkan di atas piring keramik lebar yang berasal dari Tiongkok. Satu peti bisa berisi lebih dari 10 jasad dari keluarga yang sama.

Menurut Anton, jasad yang disimpan dalam waruga itu akan mengalami pembusukan, hingga terakhir menjadi abu. Panasnya batu akibat terbakar matahari membuat jasad yang ada di dalamnya pun terpanggang hingga menyisakan abu.

"Karena jasadnya menjadi abu, sehingga waruga bisa menampung banyak jasad orang meninggal," jelasnya.

Selain jasad orang meninggal, juga berisi sejumlah barang yang disukai jasad orang yang disimpan dalam peti itu. Sampel barang-barang tersebut dapat dijumpai di ruangan museum yang berada di dekat pintu masuk taman. Hanya sayangnya, cagar budaya ini jauh dari sentuhan penataan.

Di area taman cukup tertata rapih dan alami. Namun di area parkir dan di sekitar museum ditemui banyak kotoran hewan.

Toilet di taman cagar budaya itu juga tak berfungsi. Buruknya kondisi cagar budaya itu dapat dimaklumi karena setiap pengunjung dibebaskan dari biaya tiket masuk alias gratis.

Beberapa pengunjung pun mengaku menyayangkan hal tersebut karena penataan dan perawatan juga penting sehingga tetap layak bagi pemerintah menarik biaya tiket masuk supaya situs sejarah itu terawat baik.

Ari (40), salah seorang pengunjung mengungkapkan, situs sejarah yang bernilai begitu tinggi sudah sepatutnya dijaga baik.

"Kalau perlu terapkan biaya tiket masuk agar pengunjung juga nyaman," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com