Peti-peti yang dikenal sebagai Waruga itu berumur hampir 20 abad dan hingga kini masih terjaga.
Waruga atau peti batu adalah tempat menguburkan jasad orang Minahasa di masa lampau, atau diperkiraka sekitar abad 8 Masehi.
Biasanya peti-peti batu itu ditempatkan di depan rumah dengan menghadap ke utara. Namun oleh pemerintah Belanda pada abad 18, beberapa peti batu itu dikumpulkan di satu taman tempat Taman Waruga berada saat ini.
Menurut juru pelihara Taman Waruga, Anton Jatuna (49), pemerintah Belanda pun akhirnya menghentikan pemusatan waruga pada satu lokasi. Sebab jasad yang disimpan dalam peti itu kemudian membusuk dan menyebabkan penyakit kolera.
"Sejak itu pemerintah Belanda juga mencegah orang Minahasa untuk menguburkan jasad di waruga," jelas Anton.
Hanya hingga saat ini, kata Anton, waruga masih bisa ditemui di sebagian rumah warga yang ada di pedesaan. Waruga masih dihormati sebagai peninggalan leluhur oleh sebagian warga Minahasa.
Untuk memahami waruga, terpasang relief cara menempatkan jasad di dalam peti batu itu di jalan masuk ke Taman Waruga. Pada relief itu digambarkan jasad yang meninggal, tubuhnya ditekuk dengan posisi duduk jongkok dan paha menempel dada.
Jasad itu kemudian ditempatkan di atas piring keramik lebar yang berasal dari Tiongkok. Satu peti bisa berisi lebih dari 10 jasad dari keluarga yang sama.
Menurut Anton, jasad yang disimpan dalam waruga itu akan mengalami pembusukan, hingga terakhir menjadi abu. Panasnya batu akibat terbakar matahari membuat jasad yang ada di dalamnya pun terpanggang hingga menyisakan abu.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.