Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Video 360 Derajat Akhirnya Kandas di Puncak Gerhana

Kompas.com - 09/03/2016, 17:59 WIB

Tim Redaksi

TERNATE, KOMPAS - Kedatangan saya ke Ternate untuk menghadiri undangan dari Panasonic guna meliput siaran langsung gerhana matahari total. Tentulah ini kesempatan yang tidak boleh disia-siakan.

Alasan lain untuk datang adalah membuat konten 360 derajat agar bisa dinikmati di masa mendatang. Sayangnya saya harus menerima pelajaran yang pahit mengenai penguasaan peralatan sebelum berangkat "perang".

Panasonic menggelar live streaming di Dodoku Ali, sebuah lapangan di depan Kesultanan Ternate. Lokasi yang dipilih memang sengaja tidak di tengah kerumunan warga yang datang menonton seperti di Taman Falajawa.

Untuk mencapai lokasi dari jalan harus masuk di tengah deretan kios semipermanen yang didirikan selama Festival Legu Gam. Tempatnya persis di dekat taman hiburan yang semarak di malam hari.

Sebelum berangkat, saya sudah mempersiapkan Ricoh Theta S, kamera yang mampu mengambil gambar diam maupun bergerak dalam 360 derajat.

Rencananya, saya akan merekam video di samping lokasi live streaming oleh Panasonic agar penonton bisa menangkap suasana fenomena gerhana bisa dilihat seolah berada di sana.

KOMPAS/DIDIT PUTRA ERLANGGA R Persiapan foto dan video kamera di Ternate jelang gerhana matahari, Rabu (9/3/2016).
Perangkat milik kantor tersebut bisa dioperasikan dengan dipegang atau dari jarak jauh menggunakan aplikasi yang diunduh tersendiri. Skenario pertama yakni dipegang tangan sepanjang pengambilan gambar, tapi jelas sulit dilakukan karena sebaiknya kamera diam di satu posisi.

Skenario kedua adalah menggunakan tripod, tapi memunculkan masalah lain yakni perpotongan gambar dari dua lensa yang saling membelakangi akan menyisakan kaki tripod yang berdiri.

Jalan tengah yang diambil adalah menggunakan tripod kecil dan dihubungkan dengan monopod yang kerap disebut tongsis oleh masyarakat kebanyakan. Dengan demikian kamera 360 derajat bisa dipasang di ketinggian tertentu tapi bagian bawah tetap stabil.

Panas pada badan kamera

Hari Rabu (9/3/2016) pagi, saya bersama rombongan Panasonic berangkat dari tempat menginap di Jl Pahlawan Revolusi menuju Dodoku Ali. Seluruh peralatan sudah disiapkan dan diisi daya malam sebelumnya.

Sampai di tenda milik Panasonic, sudah ada tempat menyimpan peralatan live streaming dan Power Supply Container, pembangkit daya tenaga surya berbentuk kontainer. Kontainer tersebut digunakan untuk menyuplai daya selama live streaming berlangsung.

Ruang gerak wartawan, baik yang datang dari Jakarta maupun setempat, kurang leluasa karena Panasonic juga mengundang pembawa acara Richard Herreira yang memandu live streaming. Kami disarankan agar tidak menutupi arah pengambilan gambar kamera.

Saya pun memilih untuk berdiri di pematang kecil yang langsung menghadap ke laut. Saat itu lokasi yang dipilih belum dipadati warga meski dari kejauhan dodoku atau jembatan dalam bahasa setempat yang berada di dekat tenda Panasonic yang menjorok laut mulai dipadati warga atau wisatawan yang ingin menonton.

Tripod berikut monopod segera saya pasang. Saya menunggu gerhana dimulai sebelum memasang kamera. Rencana saya, kamera akan terus merekam sekeliling dari gerhana dimulai, masuk ke fase puncak dan akhirnya selesai.

Pada pukul 08.36 waktu setempat, menggunakan kacamata khusus pengamat gerhana, saya mendapati piringan bulan mulai menutupi matahari. "Saatnya beraksi," ujar saya dalam hati.

Kamera dipasang ke uliran monopod dan dipastikan tetap stabil berdiri sendiri. Saya memilih untuk mengambil gambar dalam satu kesempatan karena saya belum menguasai teknik menyambung video 360 derajat di perangkat lunak. Sekali pengambilan gambar dan biarkan kamera mengambil gambar sepanjang gerhana terjadi.

Lewat aplikasi di ponsel, saya segera mengaktifkan fitur video dan pengambilan gambar pun dimulai. Saat itu Gunung Gamalama yang saya belakangi sedang cerah dan terlihat puncaknya.

Saya pun memberi kata pengantar di video yang memandu penonton akan terjadinya gerhana matahari total di Ternate. Sesudahnya saya pun meninggalkan tripod untuk mengambil gambar dengan kamera lain.

Lima menit kemudian saya kembali untuk memeriksa dan harus kaget karena lampu indikator kamera tidak menyala. Artinya perangkat dalam keadaan tidak menyala!

Dalam keadaan bingung, saya pun kembali menyalakan perangkat dan mengulangi rangkaian langkah sebelumnya. Setelah kamera menyala kembali, saya tinggalkan untuk mencari obyek foto.

Dan lagi-lagi, perangkat tersebut tidak menyala saat saya datangi kembali.

Saya pun mulai panik, pertama karena tidak paham apa yang sedang terjadi. Saya pun memutuskan untuk mencopot kamera dari tripod dan memutuskan untuk membatalkan rencana mengambil video 360 derajat.


Begitu saya pegang badan kamera, tiba-tiba saya sadar penyebabnya. Badan kamera terasa panas saat digenggam dan saya teringat bahwa panas merupakan isu yang cukup membebani perangkat ini.

Bila perangkat panas, otomatis segera mematikan sistem secara mandiri. Sumber panasnya bisa jadi dari proses pengambilan gambar atau karena terpapar sinar matahari yang menyengat sebelum gerhana terjadi.

Waktu terus berjalan seiring piringan bulan yang terus bergerak dari atas ke bawah menutupi piringan matahari. Saya pun mengambil skenario lain yakni mengambil gambar pada fase puncak saja atau sebelum langit menjadi gelap hingga gerhana usai.

Sambil menunggu, kamera saya copot dari tripod dan disimpan di saku sambil menurunkan panas di perangkat. Teori mengenai panas pun juga terbatas asumsi.

Kegelapan datang

Sekitar pukul 09.45, sebagian besar piringan matahari mulai tertutup piringan bulan. Masyarakat pun makin memadati tempat saya mengambil gambar.

Merogoh kamera dan memeriksa badannya yang tidak lagi panas menyengat, saya pun memutuskan untuk kembali mencoba mengambil gambar. Taruhannya hanya video yang gagal bila teori saya soal panas sebagai penyebab perangkat mati sendiri ternyata tidak terbukti.

Kembali saya nyalakan, kali ini tidak melalui aplikasi tapi langsung menekan tombol di badan kamera. Kelap kelip lampu merah di muka kamera segera muncul pertanda perekaman video berlangsung.


Kembali saya tinggalkan kamera untuk mengamati suasana sekitar, berbincang dengan warga, atau mengambil gambar kapal pesiar yang hilir mudik di laut. Mereka juga punya niat serupa untuk berburu gerhana matahari.

Memasuki fase puncak gerhana, langit pun makin gelap meski belum jam 10.00 waktu setempat. Warga makin ramai, sebagian takjub dan sibuk mengabadikan momen dengan kamera ponsel, anak-anak berebutan potongan film rontgen sebagai pengganti kacamata gerhana untuk memelototi matahari.

Sesekali saya intip kamera, dari samping terlihat jelas bahwa lampu di tombol daya tengah menyala yang berarti perangkat tidak mati mendadak seperti sebelumnya. Yang berarti dugaan saya memang terbukti.

Terlebih saat memasuki fase puncak gerhana, langit tiba-tiba gelap dan mendadak udara menjadi dingin. Saya pun tidak khawatir dengan kamera yang terus-terusan merekam.

Puncak gerhana pun tiba, warga sekitar bersorak. Sebagian melantunkan pujian kepada Sang Pencipta. Saya kembali melirik dan melihat ada nyala lampu dari perangkat. Saya pun menarik nafas lega.

KOMPAS/DIDIT PUTRA ERLANGGA R Dua jam menjelang gerhana matahari di Dodoku Ali, Ternate, Rabu (9/3/2016).
Sekitar tiga menit kemudian, piringan bulan kembali meninggalkan piringan matahari dan langit kembali terang. Terasa betul suasana mendadak hening sesudahnya seolah semua terpekur dengan peristiwa langit tersebut.

Saya pun mendekati kamera dan masih mendapati lampu yang menyala. Namun saya harus kaget saat tidak melihat lampu merah di bagian muka.

"Sejak kapan kamera berhenti merekam?" ujar saya dalam hati, kali ini benar-benar panik.

Saya segera membuka laptop, mentransfer file video berukuran 2,8 gigabita dari Theta S agar bisa ditonton meski belum dalam format yang sesuai. Saya hanya ingin memastikan gambar apa saja yang berhasil direkam kamera ini.

Adegan demi adegan saya perhatikan hingga puncak gerhana. Saat memasuki fase puncak itulah rupanya kamera berhenti merekam, kali ini tidak saya temukan penyebabnya. Saya pun lemas karena peristiwa ini hanya akan berulang dalam waktu lama dan belum tentu mendapatkan kesempatan untuk hadir di sana.

Saya pun menyimpan file video berikut adegan yang sempat direkam video ini dan tetap mengirimkan ke kantor untuk diolah. Meski pendek dan parsial, semoga bisa membawa manfaat bagi siapapun yang menontonnya kelak.

Pelajaran yang harus saya ambil saat itu: kenali tabiat perangkatmu. Itu batas tipis yang membedakan keberhasilan dan kegagalan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com