Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ajeng, Perempuan Pendobrak Diskriminasi Penyandang Tunarungu

Kompas.com - 08/03/2016, 21:00 WIB
Kontributor Lampung, Eni Muslihah

Penulis

BANDAR LAMPUNG, KOMPAS.com — Seorang gadis belia pada pagi yang cerah itu mengayuh sepeda ontel di perbukitan. Lengang jalan raya, hanya seorang diri, membuat dia mempercepat kayuhan pedal sepedanya.

Jalan turunan curam tak ia pedulikan. Sepeda melaju kencang sampai akhirnya gadis itu terjatuh. Sakit di sekujur tubuhnya. Tanpa disadari, dia memegang sesuatu di tangannya.

Gadis lugu ini kemudian mendekatkan tangannya ke arah hidung. "Eeeee, rupanya kotoran kerbau yang tercium."

Begitulah Kantie Setyo Wilujeng (23) menerjemahkan sebuah pantomim yang diperagakan oleh Nia, seorang tunarungu di Lampung.

Aksi pantomim itu mendapat tepukan yang meriah dari peserta sosialisasi pelaksanaan pemilihan kepala daerah bagi masyarakat penyandang cacat pada November 2015 lalu.

Ajeng, begitu perempuan ini akrab disapa, mulai sering berkumpul dengan penyandang tunarungu sejak semester III.

"Awalnya, saya hanya ikut-ikut saja dalam sebuah gerakan untuk kesejahteraan tunarungu," kata dia.

Namun, setelah sekian lama, ia akhirnya merasa ingin terus melanjutkan hubungannya dengan penyandang tunarungu.

"Semakin dalam bergaul dan berbagi cerita, ternyata mereka tidak sedikit yang mengalami diskriminasi di dalam keluarga," ujar alumnus Jurusan Bimbingan Konseling Universitas Lampung tahun 2015 itu.

Nyaris, pendampingan bersama penyandang tunarungu ini dia jalankan seorang diri.

Menurut dia, banyak keluarga mereka tidak menerima kalau ada anggota keluarganya adalah penyandang tunarungu.

Mereka cenderung tersisihkan dari pergaulan masyarakat.

"Pelan-pelan saya sering adakan pertemuan dengan teman rungu dan menggali potensinya," tuturnya.

Ternyata, di balik kekurangannya, para penyandang tunarungu ini memiliki potensi yang luar biasa.

"Mereka punya keinginan belajar. Ada yang ingin menjadi seorang fotografer, komedian, bahkan ada juga yang bercita-cita menjadi seorang desainer grafis," ujar aktivis Gerkatin Lampung ini.

Ajeng dengan jaringan yang dia miliki menghubungkan antara komunitas penyandang tunarungu itu dan rekan-rekannya yang memiliki keahlian di bidang tersebut.

"Karena jarang sekali yang mengerti bahasa isyarat tunarungu, saya jadi sering mendampingi mereka, sampai sudah seperti pacarnya saja," tuturnya sambil tertawa.

Paling banyak, kata Ajeng, penyandang tunarungu di Lampung memiliki keahlian dalam pantomim.

"Ketika teman-teman rungu tampil menunjukkan keahliannya, saya selalu ajak orangtua mereka," katanya lagi.

Keluarga mereka terkejut, ternyata di balik kekurangannya, anak penyandang tunarungu memiliki potensi yang lebih dari manusia pada umumnya.

"Saya dengan kemampuan seadanya coba menyampaikan kepada orangtua mereka supaya tidak terlena dengan kekurangan," tambahnya.

Di Provinsi Lampung tercatat terdapat sekitar 120 penyandang tunarungu. Sebanyak 50 di antaranya berada di Kota Bandar Lampung.

Ajeng mengatakan, sebagian besar keluarga memaksakan penyandang tunarungu berkomunikasi secara oral. Kalaupun menggunakan bahasa isyarat, komunikasi itu masih alami sekali.

Selain memberi pemahaman tentang potensi kepada orangtua yang anaknya merupakan seorang tunarungu, Ajeng juga mengajarkan perbendaharaan isyarat kepada mereka.

"Saya ingin mereka hidup sejajar dengan yang lainnya karena mereka sebenarnya punya potensi lebih," tutupnya.

Memperingati Hari Perempuan Internasional setiap tanggal 8 Maret, redaksi Kompas.com menayangkan beberapa artikel yang mengangkat kisah-kisah inspiratif perempuan dari berbagai wilayah Indonesia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com