Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Antini dan Cerita tentang Mesin Ketik di Sudut Kota

Kompas.com - 08/03/2016, 11:46 WIB
Wijaya Kusuma

Penulis


Memperingati Hari Perempuan Internasional setiap tanggal 8 Maret, Redaksi Kompas.com menayangkan beberapa artikel yang mengangkat kisah-kisah inspiratif perempuan dari berbagai wilayah Indonesia.


SLEMAN, KOMPAS.com
- Di era digital dan serba internet saat ini, mesin ketik seakan terpinggirkan. Bahkan, saat ini mesin ketik telah menjadi alat yang langka dijumpai.

Namun, bagi Antini (43), warga Karangbendo, Banguntapan, Bantul, mesin ketik manual adalah alat yang sangat berharga dalam hidupnya. Dengan mesin ketik manual inilah, perempuan lulusan SMEA Sabdodadi Bantul mencari nafkah untuk keluarganya.

Dengan beratapkan payung besar, meja dan satu mesin ketik manual, Antini membuka jasa pengetikan di pinggir Jalan Kolombo, Sleman, tepatnya di sebelah barat GOR Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Dia buka setiap hari, kecuali hari Sabtu dan Minggu.

"Saya sudah buka jasa ketik ini sejak tahun 1991," ujar Antini (43) saat ditemui di pinggir Jalan Kolombo, Senin (7/3/2016).

Antini menuturkan, setelah lulus SMEA di Sabdodadi, Bantul, dia memutuskan bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Namun, dia merasa tidak betah karena ingin membuka usaha sendiri.

“Saya dulu ikut orang jadi pembantu, tapi tidak betah. Saya keluar pengen usaha sendiri,” tegasnya.

Tahun 1991, Antini lantas mempunyai ide membuka jasa ketik. Pasalnya, pada tahun-tahun itu, jasa pengetikan masih sangat dibutuhkan oleh mahasiswa.

Saat awal buka, dia mengambil tabungannya dari hasil bekerja menjadi rumah tangga untuk membeli mesin ketik. Mesin ketik manual dibelinya dengan harga Rp 150.000.

“Zaman itu jasa ketik laris banget, saya buka di depan Kantor RRI Demangan itu. Pas di tengah-tengah kampus,” ucapnya.

Mendapat penghasilan yang lumayan cukup, Antini pun lantas pindah lebih mendekati daerah kampus. Ia lalu menyewa sebuah ruko di pertigaan Kolombo Sleman.

Di lokasi baru, Antini berbagi tempat dengan seorang temannya yang berprofesi menjadi guru salah satu sekolah di Kulonprogo yang membuka reparasi mesin ketik manual.

Ibu dua anak ini menyampaikan, di lokasi barunya itu, pelanggan jasa ketiknya makin banyak, termasuk orang yang memasukan mesin ketik untuk direparasi.

Bertahan dari komputer

KOMPAS.com/Wijaya Kusuma Antini saat berada di lapak Jasa Pengetikan di pinggir Jalan Kolombo Sleman

Namun, masuknya komputer dan internet lambat laun mengerus kejayaan mesin ketik manual. Pergeseran dari mesin ketik ke komputer juga berdampak pada berkurangnya penghasilan Antini.

“Masuk komputer, itu langsung anjlok mas, turun drastis. Sekitar tahun 1997-an lah,” tandasnya.

Turunnya pendapatan itu, lanjutnya, membuat beberapa kenalan yang juga membuka jasa pengetikan gulung tikar dan beralih profesi. Bahkan temannya yang membuka reparasi pun turut berhenti.

“Banyak mas yang berhenti, dulu di Yogya itu jasa pengetikan hampir ratusan. Teman saya yang reparasi juga berhenti, tapi kebetulan dia diangkat jadi kepala sekolah,” ujarnya.

Namun, Antini tak patah arang dan terus berusaha melanjutkan usaha jasa pengetikan. Saat tidak lagi mampu lagi membayar uang sewa ruko, dia pun memutuskan pindah tempat ke pinggir Jalan Kolombo di sebelah barat GOR Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).

“Sekarang saya di sini ini. Mungkin di Yogya jasa pengetikan hanya tinggal saya, tapi yang dengan mesin ketik manual lho,” kata Antini.

Dia mengaku, hasil dari jasa ketik memang tidak sebanyak dahulu. Bahkan beberapa hari bisa tidak ada pelanggan.

“Tarifnya disesuaikan dengan tingkat kesulitannya, kalau biasa ya saya kasih harga Rp 3.000 per lembar tapi kalau surat resmi Rp 5.000 per lembar,” ungkapnya.

Melestarikan mesin ketik

Selain mencari penghasilan, menurut Antini, profesi jasa pengetikan dengan mesin ketik manual ini juga dilakukannya untuk melestarikan keberadaan mesin ketik manual. Dia tak ingin mesin ketik manual hilang dan terlupakan.

Apalagi, di Yogyakarta. Menurut dia, jangan sampai di kota yang terkenal dengan predikat Kota Pelajar itu mesin ketik manual hanya tinggal cerita.

Tak hanya membuka jasa pengetikan, perempuan 43 tahun ini juga ahli reparasi dan servis. Kepandaiannya memperbaiki mesin ketik manual ini didapatnya secara otodidak.

Antini menceritakan, dia belajar mereparasi mesin ketik manual dari seorang temannya yang dulu bersama-sama menyewa ruko di pertigaan Kolombo. Awalnya, dia hanya memperhatikan saat temannya mereparasi mesin ketik.

“Awalnya melihat teman memperbaiki lalu saya ingat-ingat,” ucapnya.

Bermodalkan ingatan itu, saat ada pelanggan dan temanya itu belum datang, lanjutnya ia lantas mencoba memperbaiki. Jika kesulitan, Antini pun tak segan bertanya kepada temannya.

“Ada pelanggan ya saya terima. Lalu saya coba perbaiki ehh berhasil, kalau bingung ya tanya,” ucapnya.

Dia mengakui, untuk saat ini kesulitannya adalah mencari sparepart. Untuk memenuhi kebutuhan reparasi, dia lantas mencari dan membeli mesin ketik manual yang rusak lalu mempreteli onderdilnya.

Sparepart-nya sulit banget. Mesin ketik yang rusak saya beli, lalu saya lepas yang masih bisa dipakai,” urainya.

Biaya reparasi, imbuhnya, dipatoknya dengan harga Rp 50.000, sedangkan biaya servis Rp 30.000.

“Ya alhamdulilah, meski jarang setidaknya saya sudah berusaha mencari uang untuk keluarga. Berapa pun hasilnya disyukuri, yang penting mesin ketik ini tidak dilupakan,” pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com