Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ekspedisi Taman Nasional Tesso Nilo: Hutan Itu Porak Poranda (1)

Kompas.com - 04/03/2016, 12:13 WIB

Tim Redaksi

PEKANBARU, KOMPAS.com  – Kisah mengenaskan kondisi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) yang berlokasi di Provinsi Riau bukan isapan jempol atau rekaan belaka. Hutan konservasi seluas 83.000 hektar itu memang sudah nyaris habis.

Kawasan yang harusnya dilindungi itu dirambah oleh orang-orang yang tidak peduli akan fungsi hutan sebagai penyuplai oksigen atau paru-paru dunia.

Pernyataan menyedihkan tentang TNTN tergambar jelas dari paparan Tim Ekspedisi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) pada Kamis (3/3/2016) di Pekanbaru. Tim Ekspedisi berisikan komponen dari unsur Balai TNTN, TNI, World Wildlife for Fund Riau, Green Radio, dan unsur Masyarakat, menyusuri kawasan hutan tersisa sejauh 39 kilometer selama 12 hari dari satu garis utara ke selatan.

Nur Ainun, salah seorang anggota Tim Ekspedisi dari 13 anggota tim, tidak dapat menyembunyikan kesedihan tatkala menjumpai hamparan luas hutan yang terbuka dengan tingkat kerusakan sangat parah. Hutan itu telah porak poranda.

“Hari pertama kami berjalan masih banyak terlihat vegetasi tertutup, meski nampak juga pohon akasia dari konsesi perusahaan HTI (Hutan Tanaman Industri). Di hari kedua, kami melihat hutan terbuka sejauh mata memandang, yang saya perkirakan lebih dari 1.000 hektar," kata Ainun, instruktur olahraga panjat tebing Pekanbaru, satu-satunya anggota tim ekspedisi perempuan.

"Di wilayah itu kami menemukan jejak dan kotoran gajah. Saya jadi berpikir, kemana gajah-gajah itu akan tinggal kalau hutan Tesso Nilo ini hilang lenyap seluruhnya?” protes Ainun.

Ditanami kelapa sawit

Data WWF Riau pada 2015 menyebutkan, vegetasi areal TNTN yang masih tertutupi pepohonan hutan diperkirakan tinggal 15.000 sampai 18.000 hektar. Nyaris seluruh areal yang dirambah itu kini sudah ditanami kelapa sawit.

Koordinator Tim Ekspedisi, Fajar Perdana Riski mengungkapkan, secara garis besar tim menemukan berbagai permasalahan serius. Misalnya, masih ditemukan areal perambahan yang baru dibuka. Adapun perambahan lama masih tetap eksis.

Kegiatan pembalakan liar masih berlangsung, bahkan pelakunya masih berusia remaja. Potongan kayu bekas gergajian masih bertumpuk di tengah hutan.

DOK Tim Ekspedisi Taman Nasional Tesso Nilo Kayu dengan diamater di atas satu meter masih dijumpai pada bagian hutan yang tersisa Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Foto ini dipublikasikan 3 Maret 2016.
Tumbangan kayu besar masih berserakan. Terdapat areal terbuka bekas terbakar tahun lalu. Dapat disimpulkan, bahwa pembalakan liar yang disusul dengan perambahan merupakan pola utama yang terjadi di TNTN.

“Kami menemukan setidaknya 12 rumah perambah yang tersebar. Satu pemukiman perambah memiliki kelompok sampai belasan rumah berdekatan. Selain itu kami juga menemukan enam kamp pembalakan liar. Kamp itu dipenuhi dengan sampah plastik yang dapat membahayakan satwa hutan yang memakannya,” kata Fajar.

Menurut Hutomo W dari Balai TNTN, perambah dengan polisi kehutanan yang menjaga TNTN selalu bersifat kucing-kucingan. Ketika dilakukan operasi, perambah lari, namun ketika operasi berakhir, para perusak hutan itu datang lagi.

Bahkan terdapat kecenderungan, para perambah lebih galak dari petugas hukum. Akhir tahun lalu, misalnya, kata Hutomo, polisi kehutanan dengan polisi menangkap dua orang pembakar areal hutan dari pemukiman perambah. Namun, dua tersangka itu tidak dapat dibawa ke kantor polisi karena warga lain memblokade jalan keluar desa pemukiman.

Selanjutnya: Bangkai gajah

Bangkai gajah

Pada hari ke-4 ekspedisi, kata Fajar, tim menemukan bangkai seekor gajah jenis kelamin betina berusia remaja. Kematian gajah itu diperkirakan baru terjadi tiga sampai empat hari sebelumnya.

DOK Tim Ekspedisi Taman Nasional Tesso Nilo Gajah ditemukan mati oleh Tim Ekspedisi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Foto ini dipublikasikan pada Kamis (3/3/2016).
Dari pemeriksaan lapangan, diduga gajah itu sakit dan ditinggalkan oleh kelompoknya. Tim tidak dapat memberikan informasi utuh tentang kematian gajah karena buruknya sinyal komunikasi di dalam hutan.

“Tidak nampak tanda-tanda diracun. Namun untuk memastikannya, hari Sabtu (besok) tim dokter hewan akan melakukan nekropsi terhadap bangkai gajah,” kata Fajar.

Populasi Gajah Sumatera Elephas maximus sumatranus di TNTN berdasarkan hasil monitoring tahun 2009 diperkirakan mencapai 200 ekor. Data perjumpaan langsung di lapangan mencapai 58 ekor di kantong gajah Tesso Tenggara.

Pada tahun 2010 sampai 2013, gajah TNTN masih bertahan dengan kisaran populasi 150 – 200 ekor. Tim patroli gajah pada bulan Juni 2013, menjumpai 76 individu gajah di kantong Utara Tesso Nilo.

Data kematian gajah yang dilaporkan secara resmi pada kurun 2012 sampai 2016 mencapai sembilan ekor. Tahun 2012 sebanyak tiga ekor, di wilayah Desa Lubuk Kembang Bunga.

Kematian disebabkan racun yang merusak saluran pencernaan. Tahun 2013 dan tahun 2015 ditemukan lima ekor gajah mati diracun yang juga berlokasi di Desa Lubuk Kembang Bunga. Terakhir gajah mati temuan tim ekspedisi yang belum jelas penyebabnya.

Meski sudah banyak kematian, kelahiran gajah juga terjadi. Pada 26 Februari 2007, 20 Desember 2007, 30 Januari 2011 dan 8 Agustus 2013, gajah betina jinak peliharaan tim Flying Squad melahirkan dua gajah jantan dan dua gajah betina. Bapak bayi gajah itu seluruhnya merupakan gajah liar TNTN.  

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com