Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Candra Malik
Praktisi Tasawuf

Praktisi tasawuf yang bergiat dalam kesenian dan kebudayaan. Menulis artikel dan cerita pendek di media massa, buku-buku bertema spiritual, dan novel, serta mencipta lagu dan menyanyi. Berkiprah sebagai Wakil Ketua Lesbumi (Lembaga Seni dan Budaya Muslimin Indonesia) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama masa khidmat 2015-2020.

Ziarah Selagi Masih Hidup

Kompas.com - 04/03/2016, 10:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata
JEIHAN Sukmantoro. Dua tahun enam bulan yang lalu, aku bertemu dengannya di Cikutra, Bandung, Jawa Barat. Di kediamannya itu, kuserahkan buku pertamaku berjudul Makrifat Cinta sebagai tandamata perkenalan dari pejalan spiritual kulit bawang.

Jeihan memberiku tiga bukunya, lengkap dengan tandatangan. Masih ditambah bonus obrolan tentang kematian.


Usia pelukis mata kucing itu makin dekat dengan 80 tahun, dan sudah sejak lama ia telah siap meninggal dunia.

"Saya sudah menyiapkan rencana kematian. Sebuah skenario yang rapi. Saya sudah pegang peta akhirat. KTP (Kartu Tanda Penduduk) dan kunci sudah di tangan," kata laki-laki kelahiran Solo, Jawa Tengah, 26 September 1938 itu. 


Bagi sebagian orang, ucapan itu sungguh absurd. Tapi, bagi Jeihan yang meyakini bahwa "puncak seni itu puisi, puncak puisi itu filsafat, dan puncak filsafat itu sufisme", ia tidak membual.

Sejak 26 September 1998, ia menikmati rutinitas hidup di tiga rumah yang dibangun di atas lahan dua hektar di Cicaheum: rumah masa lalu, masa kini, dan masa depan. 


Rumah masa kini di mana ia terus melukis adalah museum. Rumah masa lalu Jeihan adalah rumahnya ketika masih melarat. Dan rumah masa depannya adalah makam. Ya, makam!

"Sejak dulu, aku memang memimpikan makamku di samping masjid di lembah ngarai, dengan sungai di bawahnya. Kini jadi nyata," kata Jeihan, dengan roman senang.


Untuk batu nisan, dipesannya khusus dari Muntilan. "Aku memesan batu nisan yang bolong, berlubang di bagian tengah. Supaya tidak gerah," ujar Jeihan,"Juga supaya bunga yang ditabur bisa jatuh hingga menyentuh jasadku."

Setiap hari, ia menziarahi kuburnya sendiri meski belum wafat. Dari rumah, lalu ke museum, lalu ke masjid, lalu ke makamnya sendiri.


Menurut Jeihan, jika kelahiran dan pernikahan disambut bahagia, maka demikian pula seharusnya kematian. "Harus dirayakan!" serunya. Di rumah makam itu, demikian ia menyebutnya, Jeihan menulis sebuah puisi:

Hati tenang,
bunga kembang, 
burung terbang, 
jalan terang, 
aku pulang.

Pernah mati suri pada usia 4 tahun setelah jatuh dari tangga dan terkena sakit ginjal pada awal usia 70 tahun tak membuat gentar Jeihan untuk menghadapi hari akhir.

"Prinsipku, aku tidak mau merepotkan keluarga, istri, anak, dan cucu. Harus aku persiapkan sendiri kematianku. Biar mereka tenang," ucapnya. Dan dengan sabar ia menanti waktu tiba.


Jeihan membayangkan kematian sedemikian indah, bahkan dengan berujar,"Aku bahagia! Kelak jika aku mati, anakku sulung sudah menanti di pintu surga, empat anakku laki-laki mengangkat peti jenasahku, dan dua anakku perempuan membawa bunga."

Lalu, bagaimana dengan kita? Masihkah lari dari kenyataan bahwa segalanya pasti berakhir?


Aku menulis ini dalam perjalanan ziarah ke makam para kekasih Allah, di Jawa Timur. Dari makam Sunan Ampel dan Kiai Sonhaji (Mbah Bolong) di Surabaya, ke makam Syekh Mawlana Malik Ibrahim, Sunan Giri, dan Sunan Prapen di Gresik, lanjut ke makam Syekh Mawlana Ishaq dan Sunan Drajat di Lamongan, lalu ke makam Sunan Bonang di Tuban, ditambah ke makam empat wali-wali Allah di Nganjuk, dan dua lainnya di Madiun.

Kamis kemarin, aku menerima kabar akhir hayat KH Muhammad Dahlan Bisri, dosen Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, yang amat indah.

Gus Mudib, demikian Beliau akrab disapa, masuk kelas untuk mengajar. Duduk sejenak, lalu mengucapkan,"Bismillaahirrahmaanirrahiim." Suami Ning Ainaul Mardhiyah dari Pondok Pesantren Darul Ulum, Peterongan, Jombang, itu kemudian menundukkan kepala. Wafat.


Indah sekali Allah menjemput manusia-manusia yang dicintaiNya. Meski terbaring di tanah, mereka tetap bisa menghadirkan manfaat bagi orang-orang yang masih hidup.

Di makam para wali, setiap hari ribuan peziarah datang dari berbagai daerah. Potensi ekonomi tumbuh. Dari biro travel wisata religi hingga pedagang kaki lima, hidup. 


Dalam Q.S. Ali Imran ayat 169, Allah berfirman, "Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki."

Dengan malu hati, harus kusudahi tulisan ini. Sebab, meski masih hidup, aku tak lebih dari orang mati. Mengurus diri sendiri saja tak beres, apalagi memberi manfaat pada sesama.


Caruban, 4 Maret 2016
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Regional
Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Regional
Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Regional
Komunikasi Politik 'Anti-Mainstream' Komeng yang Uhuyy!

Komunikasi Politik "Anti-Mainstream" Komeng yang Uhuyy!

Regional
Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Regional
Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Regional
Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Regional
Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Regional
Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Regional
Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Regional
Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Regional
BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

Regional
Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Regional
Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di 'Night Market Ngarsopuro'

Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di "Night Market Ngarsopuro"

Regional
Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com