Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Beri Kesempatan Balita-Balita Ini Mempertahankan Spesiesnya

Kompas.com - 20/02/2016, 08:11 WIB
Amir Sodikin

Penulis

KOMPAS.com - Choki, itulah nama yang diberikan kepadanya. Balita orangutan berusia antara 1-2 tahun itu ditemukan oleh pengelola Taman Nasional Kutai (TNK) dari permukiman warga di sekitar kebun sawit di pinggir TNK.

Senin (15/2/2016) lalu, Program Reintroduksi Orangutan Kalimantan Timur Samboja Lestari (BOS Foundation di Kalimantan Timur) menyelamatkan individu orangutan itu.

Saat ditemukan, bayi orangutan yatim piatu itu memiliki luka lebar menganga di batok kepalanya juga di lengan kiri. "Luka itu kira-kira baru berumur satu pekan," kata Hafiz U Riandita, seorang dokter hewan di BOS Foundation.

Choki stres berat. Ia agresif pada siapa saja yang mendekati. "Tanpa induk. Dipastikan induknya sudah mati. Bisa juga karena dibunuh," kata staf komunikasi BOS Samboja Lestari, Suwardi, Selasa (16/2/2016). (Baca: Kisah Tragis Orangutan, dari Peluru di Badan hingga Kehilangan Tangan)

Di usianya yang masih balita, Choki harus menanggung beban berat. Orangtuanya telah dibunuh secara keji oleh manusia. Rumahnya dari hutan Kalimantan telah direbut secara paksa dan sadis, juga oleh manusia.

Tak hanya Choki. Ada pula Shelton, Kejora, dan Kopral, dan ribuan lainnya yang bernasib sama. Di mata pemilik perkebunan, mereka ini dianggap hama. Maka, perburuan kepada satu-satunya spesies kera besar di Asia itu terus dilakukan manusia.

Kehilangan sumber makanan

Di Kalimantan Tengah, kondisinya juga sama. Orangutan yang telah kehilangan habitat akibat pembakaran hutan dan lahan, pembalakan liar, dan invasi perkebunan kelapa sawit, makin telantar dan terancam punah. Mereka kelaparan, buah-buahan di hutan sumber makanan telah tiada.

BOS/MONTERADO FRIDMAN Kejora ditemukan dalam kondisi terikat rantai yang melebihi berat badannya di depan barak karyawan perusahaan pembibitan kelapa sawit di Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah, awal Februari 2016.
Luka dan sakit yang diderita orangutan pun tak tersembuhkan segera. Obat-obatan alami yang biasa mereka makan dari tanaman dan buah di hutan, kini telah habis dari rimba, bersama habisnya hutan-hutan di Kalimantan.

Menyusuri Sungai Mangkutub di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, para petugas dari Borneo Orangutan Survival (BOS) Nyaru Menteng dengan mudah menemukan orangutan di pinggiran sungai. Di hutan gambut warisan dunia yang juga hampir hilang, orangutan itu terus menjadi incaran manusia untuk dihabisi.

BOS Foundation terus menerus menerima balita-balita orangutan yang yatim piatu. Sebagian besar dari mereka datang dengan luka fisik, dan sudah tentu luka batin, akibat dipisah secara paksa dengan orangtua mereka.

Orangutan adalah mamalia terbesar di atas pohon yang masih tersisa di dunia, dan itu hanya ada di Indonesia (Sumatera dan Kalimantan) dan sebagian kecil di Malaysia.

Jumlah orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus)  hanya tersisa 54.000 individu yang kini statusnya endangered. Untuk orangutan Sumatera (Pongo abelii) hanya tersisa 6.500 individu dengan status critically endangered.

Para balita orangutan itu kini mengemban tugas mulia bagi spesies kera besar Asia itu. Dibantu manusia yang masih memiliki hati untuk berbagi ruang dengan mereka, di tangan para balita inilah kelanjutan spesies mereka bergantung.

Bagaimana perjuangan para balita itu yang harus bertahan dari kepunahan? Apakah betul mereka akan punah tahun 2080?

Simak laporan wartawan Kompas Dionisius Reynaldo Triwibowo dari Kalimantan Tengah dan kontributor Kompas.com Dani Julius dari Kalimantan Timur dalam laporan mendalam secara multimedia di "Derita Penjaga Rimba: Kisah Tragis Orangutan di Kalimantan".

Jika Anda ingin memberi masukan terhadap program liputan multimedia Kompas.com ini, silakan tinggalkan komentar di bawah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com