Kabar soal "wiechelroede" yang populer di Indonesia itu dimuat di harian Kompas edisi 14 Februari 1966 atau 50 tahun yang lalu, dengan judul "'Wiechelroede' Makin Populer". Berikut teks asli yang diambil dari terbitan Kompas kala itu:
"Usaha mentjari sumber mata air/uratair (water-ader) di dalam tanah dengan menggunakan "Wiechelroede", dewasa ini makin populer didaerah Banjumas dan sekitarnja. Pentjarian uratair/mataair ini dimaksud untuk menentukan tempat jang akan digali untuk dibuat sumur.
Dan ditempat jang telah diketemukan itu, didalamnja terdapat urat air (water-ader), dan bila digali dan dibuat sumur biasanja tidak akan kering pabila musim kemarau telah tiba."
Di desa-desa, peramal air menggunakan batang berbentuk "Y" untuk menentukan tempat yang layak digali untuk sumur. Peramal, yang biasanya juga seorang yang dituakan di daerah tersebut, biasanya melakukan ritual sederhana sebelum memulai pencarian urat air.
Sang peramal percaya, lewat batang berbentuk "Y" itulah bisa terdeteksi gelombang air yang muncul dari tanah. Tidak ada sumber pasti darimana teknik meramal "wiechelroede" atau oleh pengetahuan Barat dikenal sebagai dowsing ini berawal.
Namun, diduga, teknik dowsing ini dibawa oleh Belanda. Dari istilahnya sendiri, Indonesia lebih suka menggunakan istilah Belanda yaitu "wiechelroede", bukan dowsing.
Wikipedia sendiri membuat artikel yang cukup lengkap soal "wiechelroede" ini. Disebutkan, "wiechelroede" atau dowsing ini telah dipakai sejak abad ke-13. Batang peramal waktu itu digunakan untuk menentukan kehendak dewa, memprediksi masa depan, dan bahkan menunjuk yang bersalah di pengadilan.
Selanjutnya: Sejarah "wiechelroede"
Sejarah "wiechelroede"
Pada abad ke-15, batang peramal digunakan untuk menemukan bijih mineral untuk pertama kalinya di antara penambang di Jerman. Di Jerman juga berkembang penggunaan batang peramal untuk menentukan radiasi bumi.
Batang peramal juga pernah digunakan untuk menemukan ranjau. Orang-orang Inggris kemudian menggunakan batang peramal untuk menentukan urat air di bawah tanah.
Akhir abad ke-18, batang peramal dianggap sebagai instrumen biasa dan tak lagi dipercaya sebagai pekerjaan setan ataupun petunjuk dewa.
China juga memanfaatkan batang peramal ini dalam kaitannya dengan penentuan fengshui sebuah rumah. Cara kerjanya dengan memanfaatkan batang peramal untuk menentukan gangguan yang muncul dari tanah agar bisa dihindari.
Dikutip dari Wikipedia, sebuah studi dari tahun 1948 oleh 58 dowsers yang sedang mencari air di Selandia Baru, mengatakan bahwa tidak satupun dari mereka bisa menemukan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan orang yang hanya sekadar memilih lokasi secara acak.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.