Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Idah, Satu-satunya Etnis Melayu Penjual Cakwe di Binjai

Kompas.com - 10/02/2016, 19:31 WIB
Kontributor Medan, Mei Leandha

Penulis

MEDAN, KOMPAS.com - Cakwe adalah kudapan khas asal China, sehingga hampir selalu penjual dan penikmat makanan kecil ini adalah warga etnis Tionghoa.

Namun, di Kota Binjai, tak jauh dari Kota Medan, Idah (40) bersama suaminya adalah satu-satunya etnis Melayu yang menjajakan makanan itu di kota yang terkenal dengan rambutannya itu.

Pada Rabu (10/2/2016) subuh, warga Sei Mencirim ini sudah membuka tempat berdagangnya di tepian jalan di Pasar Tavip, pasar tradisional terbesar di Kota Binjai.

Dengan cekatan, Idah dibantu sang suami mengadon, membentuk, lalu menggoreng cakwe. Aroma harum nan menggiurkan terbang mewarna pagi.

Begitu warna cakwe sudah kecoklatan, dengan sigap perempuan berkerudung itu mengangkat dan meniriskan, kemudian meletakkannya di atas nampan besar beralas daun pisang.

Disitulah cakwe panas dan bebagai makanan camilan lainnya ditaruh agar terlihat para calon pembeli.

Tempat Idah berjualan berada di belarang jajaran ruko yang dijadilan sarang burung walet. Suara burung walet yang bersahutan menghadirkan suasana bak di alam bebas.

Sayangnya, Idah tak menyediakan "sepotongpun" bangku bagi konsumennya untuk duduk menikmati suasana sambil mengudap cakwe di pagi hari.

"Begini saja kami jualannya dari dulu, tak berubah. Cuma tempatnya saja yang bergeser. Dulu kami agak ke sana, dulu di sana yang ramai. Orang biasanya datang, beli, langsung cabut. Jadi tak ada tempat duduk," kata Idah,

Saat ditanya berapa orang penjual cakwe di pasar yang biasa buka sampai sore itu, Idah menegaskan hanya dialah yang berjualan penganan itu.

"Kamilah Melayu satu-satunya dan yang pertama kali menjual cakwe di sini. Sampai sekarang, sudah lebih sepuluh tahun. Dari mulai pajak Tavip ini entah kayak mana, sampai kayak sekarang. Langganan kami lebih banyak orang China," kata dia.

Awal mula Idah mengenal cakwe adalah dari abang iparnya yang bekerja dengan seorang pedagang cakwe etnis Tionghoa.

Sambil bekerja, abang ipar Idah juga menyerap resep dan ilmu membuat cakwe dari majikannya. Akhirnya, sang abang ipar membuka usaha sendiri.

Akhirnya, usaha yang dirintis abang iparnya itu diwariskan kepada sang suami dan dirinya hingga saat ini.

"Resepnya cuma tepung dan air. Tak ada yang lain. Kalau cakwe pake garam, kalay ini isi kacang merah pakai gula tepungnya. Orang China itu kayak gitu juga membuatnya, sama aja. Tak pernah orang itu bilang lain rasanya dengan cakwe buatan kami," kata Idah.

Dalam sehari, Idah menghabiskan 17 kilogram tepung dan jumlah itu melonjak hingga 25 kilogram pada akhir pekan atau hari libur.

Idah mematok harga sangat murah untuk cakwe buatannya yaitu hanya Rp 2.000 tiap potong.

"Cakwe kami tak pakai pengawet, cuma bisa tahan satu hari. Kalau besok digoreng lagi, udah keras. Harganya dulu Rp 500, sekarang sudah jadi Rp 2000,” katanya lagi.

Harga tersebut naik pelan-pelan seiring naiknya harga tepung dan minyak. Tapi mereka tetap menjaga rasa dan kualitas agar para langganan tidak kecewa.

“Ada lima macam yang kami jual, satu lagi cakwe yang kayak jari,  yang pagi-pagi sudah habis. Terus kue yang isinya pulut (ketan), ini udah tak kami jual lagi, sudah mahal harga pulut," kata Idah dalam dialek Melayu yang kental.

Seorang pembeli, Dini (32) warga Limau Sundai mengatakan, setiap sarapan di meja makan wajib ada cakwe dan kue isi kacang merah sebagai teman kopi atau teh manis.

"Dari kami kecil-kecil, ayah saya dulu yang suka beli ini. Awalnya kami enggak mau makan karena kami pikir ini makanan China, enggak halal. Dibawa ayahlah kami ke sini, dia tunjukkan siapa yang masak, baru kami tahu orang kita rupanya yang jual," kata Dini.

"Sebenarnya enggak ada itu pakai minyak babi. Kalau pun ada, untuk orang itu sendiri, bukan untuk dijual. Langganan kami sering beli cakwe untuk sembahyang. Orang itu minta di goreng setengah matang, masih putih tepungnya. Nanti baru digoreng lagi pakai minyak mereka," ujar Idah menimpali.

Jelang tengah hari, Idah mulai membereskan peralatan masak dan dagangnya. Nampan besar wadah cakwe sudah kosong sedari tadi. Sudah tiba waktunya pulang dan beristirahat.

Sebelum Idah beranjak pergi satu pertanyaan muncul, soal masa depan usaha ini. Nampaknya, usaha ini akan hilang saat Idah tak lagi kuat berjualan/

"Tak ada yang menurun, tak ada hobi orang itu. Habislah, mungkin kami yang pertama dan terakhir orang Melayu yang jualan cakwe di Kota Binjai ini," pungkasnya sambil tersenyum.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com