Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Mbah Lindu dan Gudeg yang Dijual sejak Masa Penjajahan

Kompas.com - 19/01/2016, 12:19 WIB
Kontributor Yogyakarta, Wijaya Kusuma

Penulis

YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Selain dikenal sebagai "Kota Pelajar", Yogyakarta juga dikenal dengan julukan "Kota Gudeg". Gudeg menjadi menu yang mudah dijumpai di penjuru Kota Yogyakarta.

Salah satunya Gudeg Mbah Lindu di Jalan Sosrowijayan, Yogyakarta. Istimewanya, Mbah Lindu, sang penjual yang kini berusia 96 tahun, sudah berjualan gudeg bahkan sebelum zaman penjajahan Jepang.

"Tahunnya kapan saya sudah lupa, tapi sebelum Jepang datang. Wong Jepang datang itu saya sudah punya anak satu," ujarnya.

Perempuan yang memiliki nama asli Setya Utomo ini menuturkan, saat pertama kali berjualan, dirinya berkeliling menjajakan dagangannya dengan berjalan kaki dari rumahnya di Klebengan, Caturtunggal, E-6 Depok, Sleman, ke kawasan Kaliurang.

"Gudeg saya gendong, lalu jalan kaki berkeliling. Zaman dulu kan tidak ada bus, rumah juga belum banyak seperti sekarang," ungkapnya saat ditemui Kompas.com di Jalan Sosrowijayan, Yogyakarta, Selasa (19/1/2016) pagi.

Perempuan yang dikaruniai lima anak dan 15 cucu ini mengaku merasakan transaksi dengan menggunakan mata uang "benggol" dan sen.

Bahkan, dia berjualan pada masa empat sampai lima pincuk nasi gudeg hanya seharga satu sen.

"Benggol, terus uang koin yang bolong tengahnya itu saya sudah mengalami. Wong zaman itu satu sen bisa mendapat empat sampai lima pincuk gudeg," ujarnya.

Hanya saja, dia mengaku lupa alasan awalnya ikut berjualan gudeg.

"Lupa, Mas, tetapi kan di desa zaman dulu banyak yang buat gudeg," ucapnya.

Dikunjungi turis asing

Setelah puluhan tahun berjualan gudeg dengan keliling berjalan kaki, kini usaha Mbah Lindu menetap di sebuah poskamling di Jalan Sosrowijayan.

Mbah Lindu hanya menyediakan kursi berukuran 1,5 meter tanpa meja. Sensasi kesederhanaan ini semakin membuat pembeli seakan-akan berada di Yogyakarta zaman dahulu.

Gudeg Mbah Lindu selalu habis diserbu pembeli setiap hari. Banyak pula pembeli yang memborong gudegnya untuk dibungkus sebagai oleh-oleh.

"Ya, sekarang di sini. Pagi diantar cucu dengan mobil terbuka itu. Buka dari jam 5 pagi sampai jam 10 pagi," ujarnya.

Saat ini, setiap hari Mbah Lindu berjualan dibantu oleh anak kelimanya, Ratiah (50). Namun, Ratiah hanya membantu untuk penghitungan uang. Mbah Lindu sendiri tetap yang mengerjakan penyajian makanan di atas piring atau bungkusan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com