"Ini makin meyakinkan pengelolaan kota lama ini cukup rumit karena banyak aset tidak jelas punya siapa. Terbukti, aset De Locomotief itu sudah berpindah tangan lima kali, entah ke siapa. Dulu pemiliknya namanya Pak Chandra," kata Ganjar.
Terkait robohnya gedung tersebut, Ganjar mendapat penjelasan langsung bahwa gedung tua itu roboh karena tak dirawat oleh pemiliknya.
Bangunan atas gedung runtuh menimpa bagian bawahnya, bahkan ada yang menimpa gedung lainnya.
Menurut Ganjar, Pemerintah Kota Semarang tidak bisa dipersalahkan begitu saja mengingat rumitnya pola pengelolaan kota lama.
Ia bahkan membela Pemkot Semarang karena instansi itu telah menyiapkan desain penataan kota lama.
"Pemkot itu menyiapkan desain penataan kota lama. Sudah disiapkan dan akan dipaparkan dengan saya, itu saya tahu semalam pas ketemu Wali Kota. Jadi, minggu depan sudah paparan soal kota lama," lanjut Ganjar.
Hal penting yang harus dilakukan adalah melakukan identifikasi terhadap semua pemilik gedung, apakah milik BUMN, perusahaan swasta, ataukah milik perorangan.
Data itu harus didapat terlebih dulu agar kebijakan penanganan kota lama, termasuk gedung yang roboh, bisa tepat.
Sebelumnya, Gedung De Locomotief yang berada di Jalan Kepodang Nomor 22-24 Semarang itu diberitakan dalam kondisi yang amat memprihatinkan.
Sejumlah aktivis sejarah lantas melaporkan pemilik Gedung De Locomotief ke Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah.
Pelaporan dimaksudkan untuk menyelidiki adanya dugaan perusakan bangunan cagar budaya yang disengaja dari pemilik De Locomotief.