Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Hentikan Politisasi Perpanjangan Kontrak Karya Freeport"

Kompas.com - 16/12/2015, 14:36 WIB
Kontributor Jayapura, Alfian Kartono

Penulis

JAYAPURA, KOMPAS.com — Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Kabupaten Mimika Virgo Solossa mendesak para politisi di DPR untuk berhenti memolitisasi perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia.

Ia menilai kegaduhan yang terjadi saat ini tak lebih dari ulah segelintir orang yang ingin mengambil keuntungan dari pertambangan emas dan tembaga yang berada di Kabupaten Mimika, Papua, itu.

Menurut dia, muara dari kegaduhan ini akan menyasar izin ekspor konsentrat PT Freeport Indonesia yang akan berakhir pada 25 Januari 2016.

“Ada pihak-pihak yang mencoba mengambil keuntungan dari Freeport, dan berlindung di balik pemberlakuan Undang-Undang Minerba,” kata Virgo kepada Kompas.com melalui telepon selulernya, Rabu (16/12/2015).

Virgo mengingatkan, jika hal tersebut terjadi, maka akan berdampak terhadap lebih dari 30.000 pekerja yang mencari nafkah di pertambangan itu. Belum lagi hilangnya dana CSR untuk masyarakat, serta pendapatan pemerintah, khususnya Kabupaten Mimika dan Provinsi Papua.

Berdasarkan pengalaman awal tahun 2014 lalu, saat dimulainya pemberlakuan UU Minerba, menurut Virgo, pihak perusahaan sempat mengambil langkah efisiensi.

Perusahaan itu melakukan pemutusan hubungan kerja dan merumahkan ribuan pekerja menyusul larangan melakukan ekspor konsentrat.

Menurut dia, hal yang sama beratnya akan terjadi jika perusahaan terpaksa menempuh jalur arbitrase internasional yang kemungkinan akan memakan waktu hingga dua tahun.

“Dari sisi pekerja, jelas kami tidak ingin hal itu terjadi dan mungkin demikian juga untuk Pemerintah Kabupaten Mimika dan Provinsi Papua serta warga Papua yang mendapat keuntungan dari dana CSR PT Freeport Indonesia,” jelas Virgo.

Virgo mengatakan, berdasarkan perhitungan kasar para pekerja, pemerintah tidak memberikan perpanjangan izin ekspor konsentrat, maka ada sekitar 60 persen dari pekerja di area pertambangan akan dirumahkan.

Sebab, perusahaan pun harus memangkas produksi hingga 60 persen karena kapasitas smelter di Gresik hanya mampu menampung 40 persen konsentrat yang dihasilkan PT Freeport Indonesia.

“Itu hitung-hitungan kasar, kalaupun hasil dari 40 persen produksi ini mampu menutupi biaya produksi perusahaan,” ungkap dia.

Kewajiban membangun "smelter" hanya jebakan
Menanggapi kewajiban membangun smelter (pabrik pemurnian) untuk pertambangan emas dan tembaga yang tercantum dalam UU Minerba, menurut Virgo, hal itu tak lebih dari jebakan yang bisa dimanfaatkan menjadi bargain demi mendapat keuntungan dari pertambangan.

Menurut Virgo, kehadiran pabrik pengolahan tembaga ataupun emas belum menjadi kebutuhan besar bagi industri Indonesia dan hajat hidup orang banyak.

Dia memandang, akan lebih menguntungkan jika membangun penyulingan gas ataupun minyak bumi yang bisa langsung dirasakan masyarakat banyak dalam bentuk LPJ ataupun bensin dan solar ketimbang impor.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com