Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pembangunan Perkebunan Sawit di Papua Dinilai Menggusur Warga dari Tanah Leluhur

Kompas.com - 10/12/2015, 03:44 WIB
Kontributor Balikpapan, Dani J

Penulis

BALIKPAPAN, KOMPAS.com – Pembangunan perkebunan kelapa sawit di Papua dinilai menggusur dusun-dusun penghasil sagu seperti di Nabire, Sorong, hingga Merauke.

“Padahal masyarakat Papua sejahtera bila hutan dan dusun-dusun (penghasil) sagu masih ada,” kata aktivis Yayasan Pusaka di Jakarta Arkilaus Baho di Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu (9/12/2015).

Menurut dia, fenomena ini menunjukkan ketidakhadiran negara dalam membangun Papua. Peran negara tersebut digantikan perusahaan-perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di sana.

“Negara angkat tangan tentang kesejahteraan dan menyerahkan ke perusahaan lewat CSR. Keamanan, siapa yang kendalikan, perusahaan. Intimidasi pada masyarakat oleh aparat negara, dan ini dikendalikan perusahaan,” kata Arkilaus.

“Tidak ada orang papua yang setuju akuisisi lahan. Kami masyarakat adat tidak memberi tanah adat. Kami tidak terima sawit sampai sekarang, kami miskin di atas negerinya,” sambung Arkilaus.

Ia juga mengatakan bahwa pembangunan perkebunan kelapa sawit di bagian selatan dan barat melalui akuisisi lahan-lahan dusun telah menggusur paksa hak ulayat.

“Termasuk kehadiran perusahaan kelapa sawit Wilmar Internasional. Perusahaan ini membeli sawit dari supliernya. Supliernya itu bermunculan sampai memiliki 40.000-an hektar (ha) tiap perusahaan,” tutur Arkilaus.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Kalimantan Timur, Fathur Rozoqin Fen menyampaikan bahwa konflik kelapa sawit tidak hanya terjadi di Papua, namun juga di Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera.

Pembangunan kebun sawit dinilainya telah mengusur warga dari tanah nenek moyangnya. Selain itu, lahan untuk kebun dan pertanian warga menjadi rusak.

Warga juga mendapat tekanan oknum tentara dan polisi yang seolah berpihak, dan merasa dibiarkan menyelesaikan sendiri konflik tanpa dukungan pemerintah.

“Apa yang terjadi, bukan hanya tak selesai kasusnya, bahkan nyaris tidak digubris. Ini indikasi, sama saja tidak hadir negara dalam praktek bisnis dan HAM. Maka kami ingin menagih kehadiran negara pada konflik eksploitasi SDA,” kata dia.

Banyak sekali kasus yang tidak selesai yang menunjukkan betapa negara bisa dikatakan sebagai tidak hadir di dalam penyelesaian konflik SDA di negeri ini.

Ini setara, negara membiarkan masyarakat dan perusahaan berhadap-hadapan menyelesaikan sendiri persoalannya.

Contoh lainnya diungkap Ketua Adat Long Bentuq, Kecamatan Busang, Kabupaten Kutai Timur, Daud Lewing.

Warga lokal di Kutim menolak sawit sejak 2007. Kenyataannya, sampai saat ini upaya pengupasan lahan terus terjadi.

Warga sudah melapor ke polisi hingga kementerian lingkungan hidup dan kehutanan, tetapi belum ada kepastian terkait laporan itu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com