NAMLEA, KOMPAS.com - Sejumlah penambang ilegal merasa kesal karena dipaksa meninggalkan area tambang emas di kawasan Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku.
Mereka merasa aparat keamanan dan pemerintah daerah setempat telah bertindak seenak hati karena selama ini oknum aparat itu menikmati pungutan liar atas penambang.
"Mereka memaksa kami meninggalkan Gunung Botak, padahal selama ini mereka menagih jatah dari kami para penambang," kata penambang berinisial Y di Jalur D kawasan Gunung Botak, Sabtu (14/11/2015).
(Baca Usir Penambang Ilegal, Aparat Bakar Tenda dan Tempat Pengolahan Emas)
Ia mengatakan, sebelum pengosongan kawasan tambang dilakukan, setiap penambang yang melewati pos penjagaan wajib membayar upeti Rp 10.000-Rp 15.000 per orang.
Pungutan juga dibebankan kepada pemilik tromol dan pemilik lubang dengan jumlah uang lebih besar.
"Untuk yang mengangkut material dengan sepeda motor itu wajib membayar Rp 15.000. Kalau pikul Rp 10.000, kalau pemilik tromol itu lebih besar lagi," kata dia.
Penambang lain mengaku, hampir semua pihak di Gunung Botak terlibat praktik tersebut.
Ia menuding oknum pemda dan petugas satuan polisi pamong praja Pemerintah Kabupaten Buru juga tidak luput dari praktik kotor tersebut.
"Untuk satpol PP itu jatah mereka juga ada, per hari untuk setiap penambang itu Rp 15.000. Tapi biasanya mereka melakukan penagihan per bulan, jadi totalnya itu Rp 350.000," kata pria berinisial M tersebut.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.