Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kepada Hujan Mereka Menaruh Asa

Kompas.com - 03/11/2015, 19:45 WIB
KOMPAS - Hujan mengguyur Desa Nusantara, Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Kamis (29/10). Jadi (50) dan Sukirman (42), petani sawah tadah hujan, bergegas menengok padi yang ditanam.

Mereka cemas, bukan karena padi kering, melainkan karena padi enggan tumbuh.

Sejak pagi, Jadi dan istrinya, Sumartin, berada di lahan tadah hujan seluas 2 hektar. Hari itu, tepat 30 hari usia tanaman padi Jadi. "Seharusnya, padi sudah disemprot pupuk dan pembasmi rumput. Kalau seperti ini belum bisa karena sia-sia. Malah buang obat," ujar Jadi.

Yang dimaksud Jadi, meski berusia 30 hari, tanaman padi miliknya tidak tumbuh normal. Panjang tanamannya hanya 1 jengkal tangan atau sekitar 15 sentimeter. Seharusnya, padi usia 30 hari panjangnya dua kali itu. Ujung daun tampak kering, menguning, seperti terbakar. Ketika dicabut, akar tampak belum berkembang. Apa yang dialami Jadi juga ditemukan pada tanaman padi milik Sukirman. Ujung daun padi miliknya kuning, tanda mengering. Ketika padi dicabut, akarnya tidak berkembang. Bahkan, lahan padi Sukirman tampak botak. Sebagian benih padi belum tumbuh.

Jadi dan Sukirman adalah warga Desa Nusantara, Kecamatan Air Sugihan. Mereka generasi kedua keluarga transmigran yang tiba tahun 1980. Mereka datang dari Kabupaten Kediri, Tulungagung, Magetan, dan Madiun, Jawa Timur. Ada pula dari Jawa Tengah, seperti Kabupaten Sragen. Kala itu, Jadi dan Sukirman masih kecil, usia sekolah dasar.

Untuk mencapai Desa Nusantara, warga menumpang perahu cepat selama 2,5 jam dari Palembang. Meski 35 tahun dihuni, jalan desa masih beralas tanah dan listrik dari PLN baru hadir tahun lalu. Itu pun masih sering pemadaman.

Hari itu, listrik mati mulai pukul 14.00 hingga pukul 20.00 WIB. Untuk memasak dan minum, warga mengandalkan air hujan yang ditampung di bak khusus. Air tanah terasa asin dan kehitaman, hanya untuk mandi. Di musim kemarau, kebutuhan air masak atau minum dengan membeli air isi ulang atau air dalam kemasan.

Areal persawahan tadah hujan berada di luar kebun atau lahan usaha warga. Ada kebun ditanami kelapa sawit, karet, ada pula kelapa. Areal persawahan dibuka warga tahun 1995 dengan total luas sekitar 1.200 hektar. Meski hanya bisa ditanam sekali setahun, sawah itu menghidupi 572 keluarga.

Bagi Jadi dan Sukirman, kabut asap adalah tragedi. Jika kondisi normal, mereka panen tiap tiga bulan. Kini, mereka menunggu waktu panen lebih lama. Ada juga yang mati. Periode tanam lebih panjang berarti utang kian menumpuk.

Petani membeli benih dan pupuk dengan mengutang, yang dilunasi saat panen tiba. Harga benih padi tunai Rp 600.000 per 70 kg akan naik jadi Rp 950.000 per 70 kg jika dibayar setelah panen. Pupuk urea Rp 105.000 per 50 kg akan naik jadi Rp 130.000 jika dilunasi setelah panen. Padahal, pupuk tidak hanya diberikan sekali, tetapi bisa tiga kali sekali masa tanam.

"Orang di sini biasanya utang. Mau bagaimana lagi, lha butuh," ungkap Sukirman.

Bagi mereka, panen adalah sumber penghasilan sekaligus tabungan. Sekali panen, setiap hektar menghasilkan 60-70 karung gabah atau 5-6 ton gabah. Sebagian dikonsumsi sendiri, sebagian lagi jadi tabungan.

Pengajar bidang perlindungan tanaman Universitas Sriwijaya, Chandra Irsan, menjelaskan, terhalangnya sinar matahari oleh asap menyebabkan proses fotosintesis tak sempurna. "Harusnya, sinar yang masuk ke daun 100 persen menjadi 50 persen. Akibatnya, pertumbuhan tidak maksimal," katanya.

Chandra mengamati fenomena itu ketika bersama mahasiswanya melakukan uji coba menanam kedelai di sepetak lahan di kampus Unsri. Dari pengamatan, pertumbuhan kedelai lebih lambat dua minggu. Mengenai ujung daun menguning dan mengering, kata Chandra, perlu penelitian lanjut terkait keasaman tanah.

Apabila padi milik Jadi dan Sukirman tumbuh lebih lambat, hamparan padi milik Laman (70) dan istrinya, Paini, petani dari Desa Nusa Karta, Air Sugihan, dilalap api. Gubuk sederhana tempat mereka melepas lelah juga musnah. Api berasal dari kebun akasia milik perusahaan yang berjarak dua parit lebar.

"Apinya melompat ke sawah. Sekarang semua habis terbakar, termasuk gubuk saya," tutur Laman. Hingga siang itu, Laman dan Paini sudah bolak-balik dari rumah menuju ladangnya membawa kayu, paku, dan rumbia untuk membangun gubuk mereka. Mereka menghabiskan Rp 1,5 juta untuk itu.

Inilah ironi kesekian kali negeri kaya sumber daya alam berbuah petaka. Nama Air Sugihan berarti daerah itu berlimpah air. Kini, daerah itu justru sumber titik api. Harapan warga seperti Jadi, Sukirman, dan Laman jelas: hujan turun mengangkat beban mereka. (Nobertus Arya Dwiangga M)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com