Namun tidak dengan Sekolah Relawan. Jangankan ruangan belajar, gedung kantor saja mereka tak punya.
"Kami ini sebenarnya komunitas kere, mau nyewa kantor aja gak punya duit. Karena namanya sekolah, ya lebih ke edukasi. Ada yang berbayar, ada yang gratis. Yang berbayar misalnya untuk membayar pelatih yang sengaja didatangkan dan lain sebaginya," kata Bayu Gawtama.
Bayu Gawtama adalah pendiri Sekolah Relawan. Dia berbicara saat ditemui di basecamp yang menampung mereka selama tiga minggu terakhir di Kalimantan Tengah, akhir pekan lalu.
Berdiri sejak tahun 2013, Sekolah Relawan terkoneksi dengan lebih dari 200 anggota di seluruh Indonesia.
Anggota mereka merupakan pentolan aktivis kemanusiaan, yang mendedikasikan diri dalam berbagai kegiatan sosial, terutama di daerah bencana.
"Banyak orang yang ingin jadi relawan. Jadi, kita mengakomodir mereka, memberikan pelatihan dan edukasi sehingga mempunyai kemampuan untuk membantu selama di lapangan" kata dia.
Gaw, begitu Gawtama biasa disapa, menceritakan bahwa ide untuk mendirikan Sekolah Relawan muncul agar para relawan ketika diterjunkan punya kemampuan untuk membantu.
"Berfikir untuk memberi pelatihan kepada teman-teman relawan. Misalnya untuk penanganan pasca bencana seperti trauma healing maupun penanganan lainnya di lokasi bencana," kata Gaw.
Berbasis di Kota Bogor, para relawan berasal dari latar yang berbeda. Mulai dari mahasiswa, guru, hingga karyawan swasta.
Bahkan, mereka rela cuti dari pekerjaan untuk bisa membantu di daerah yang membutuhkan relawan.
Gaw salah satunya. Rela meninggalkan profesinya saat ini sebagai guru di SMK Ar-Rahmah, Bogor.
Selama tiga minggu berada di Desa Tumbang Nusa, Kabupaten Pulang Pisau, tim dari Sekolah Relawan turut berjibaku memadamkan kobaran api dilahan gambut yang terbakar.
Relawan tersebut, sebagian besar menggunakan dana pribadi untuk membiayai akomodasi maupun transportasi selama berada di lapangan.
Meski, ada juga yang dibantu biaya keberangkatan, karena dinilai memiliki kemampuan yang memadai, namun tak memiliki biaya.
Selama memadamkan api bersama warga Tumbang Nusa, tak sedikit kendala yang dihadapi para relawan.
Mulai dari sulitnya mencari sumber air, hingga jarak yang jauh antara basecamp dan lokasi hutan yang terbakar.
Saat melakukan pemadaman di dalam hutan, para relawan banyak belajar dari kearifan lokal masyarakat setempat. Salah satunya melihat warga membuat sumur bor di dalam hutan untuk mendapatkan sumber air yang digunakan memadamkan api.
"Selama ini kita mengandalkan sumber air dari parit, tapi jaraknya jauh dengan lokasi kebakaran. Kalau pakai selang, bisa sampai satu kilometer panjang selang yang dibutuhkan ke dalam hutan," kata dia.
"Sumur bor berfungsi dan sangat efektif untuk pemadaman di hutan gambut, tapi jumlahnya masih sedikit," papar dia.
Untuk memadamkan kebakaran di lahan gambut membutuhkan teknik khusus. Para relawan pun mendapatkan pelatihan bagaimana cara untuk memadamkan api.
"Cara kita memutus jalur api di kedalaman untuk membasahi gambut supaya api tidak menjalar, bukan memadamkan di permukaan. Kita juga belajar dari masyarakat lokal," ungkap dia.
Meski punya tekad dan niat mulia membantu sesama, tentu manusia punya keterbatasan, terutama kemampuan fisik.
Jika ada yang jatuh sakit karena kelelahan, mereka akan diistirahatkan, setelah sembuh kemudian dikirim pulang dan digantikan dengan relawan yang baru.
Tak hanya membantu pemadaman kebakaran di lahan gambut saja, Sekolah Relawan sebelumnya juga terlibat dalam berbagai misi kemanusiaan di berbagai lokasi bencana.
Mereka pernah bekerja saat terjadi bencana alam di Sinabung, Gunung Kelud, maupun banjir di Jakarta.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.