Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Agustinus Sasundu, 46 Tahun Abdikan Diri untuk Musik Bambu

Kompas.com - 26/09/2015, 09:09 WIB
Kontributor Manado, Ronny Adolof Buol

Penulis

SANGIHE, KOMPAS.com - Agustinus Sasundu (65), dengan bangga menurunkan sebuah sertifikat berbingkai yang tergantung di dinding rumahnya di Desa Likuang, Kecamatan Tabukan Utara, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, saat Kompas.com mendatanginya. Dia lalu menceritakan perihal Penghargaan Kehati Award sebagai pemenang untuk kategori Citra Lestari Kehati 2014.

"Saya sudah belajar membuat peralatan musik bambu sejak tahun 1969. Dan hingga kini saya sudah mewariskan kearifan ini ke hampir semua kampung yang ada di Sangihe," kata Agustinus, Sabtu (26/9/2015).

Ayah dari tiga orang anak ini kemudian memperlihatkan bekas luka sobek di tangannya. Luka itu menjadi semacam prasasti bagi jejaknya dalam melestarikan kesenian tradisional orang Sangihe selama 46 tahun.

"Ada 18 jahitan untuk menutupi luka ini. Kecelakaan itu terjadi saat saya masih menggunakan pisau melubangi bambu untuk peralatan musik. Pisaunya terpeleset dan merobek tangan saya," kata Agustinus.

Tetapi bukannya berhenti dari pekerjaannya, Agustinus justru menganggap luka yang merobek tangannya itu justru menjadi pelecut baginya untuk terus menemukan cara terbaik membuat musik bambu.

Dari tahun ke tahun, Agustinus terus berkreasi menciptakan cara yang inovatif menjadikan musik bambu tak sekadar terlihat menoton.

Dia juga menciptakan alat kerjanya sendiri sejak tahun 1980. Kini lewat kreasi Agustinus, musik bambu asal Sangihe tampil dengan berbagai bentuk yang inovatif.

Beberapa peralatan musik tiup tersebut bahkan terlihat seperti bentuk saxophone modern, terompet dengan berbagai lekuk pipanya dan berbagai bentuk inovatif lainnya. Semuanya dari bambu.

"Sulit mendapatkan bambu dengan ukuran diameter yang besar, sementara beberapa bagian dari musik ini harus punya diameter cukup besar. Ya, saya berkreasi merangkai musik itu dari potongan-potongan kecil bambu," kata Agustinus.

Dia juga kemudian menemukan cara yang tepat mengambil bambu sesuai dengan bunyi yang diinginkan, dengan maksud agar bambu yang ditebang benar-benar yang diperlukan sehingga yang tidak cocok untuk alat musik tetap bisa terus hidup.

Dulu, para pembuat alat musik ini sembarang menebang batang bambu dan membuang yang tidak cocok.

"Misalnya batang bambu untuk suling, dulu ditebang sembarang, lalu dicoba, kalau tidak cocok ya dibuang. Tetapi sekarang saya sudah bisa tahu mana yang cocok untuk suling cukup dengan sekali tebang," kata Agustinus.

Mewarisi

Lewat bengkel kerjanya yang sederhana di belakang rumah, Agustinus tidak hanya menghasilkan ratusan set peralatan musik bambu, tetapi dia juga sudah mewariskan ilmunya tersebut ke berbagai orang dengan tujuan agar kesenian tradisional itu tetap lestari.

"Saya sering terima order pembuatan satu set, itu bisa memerlukan waktu tiga sampai empat bulan. Dan saya suka membuatnya di kampung mereka, agar mereka juga bisa belajar bagaimana membuatnya, supaya lebih banyak yang tahu," kata Agustinus.

Alhasil Agustinus dengan sendirinya menjadi pewaris seni dan budaya daerah. Menariknya, sosok sederhana ini bukan hanya sebagai pembuat musik bambu, tetapi dia juga tampil sebagai pelatih dan arranger lagu yang dibawakan.

Tidak mudah mengaransemen partitur musik bambu yang sedikitnya terdiri dari 40 jenis peralatan musik tersebut. Ini sama halnya dengan mengaransemen sebuah orkestra.

Pernah satu waktu Agustinus diminta melatih kelompok musik bambu di Pulau Nanekele yang hampir semua warganya belum bisa baca tulis. Mereka hidup sebagai nelayan tradisional dan jauh dari perkembangan modern karena transportasi laut yang masih susah waktu itu.

"Tetapi saya yakin mereka bisa, karena sebagai nelayan mereka punya daya juang hidup yang tinggi, sabar dan ulet. Nafas mereka juga panjang karena sering menyelam. Dan akhirnya mereka bisa memainkan alat musik itu dengan sangat baik," cerita Agustinus.

Penghargaan Kehati itu memang layak diterima Agustinus. Betapa tidak, orang tua ini tidak pernah memasang tarif atas jasanya melatih dan mengaransemen lagu.

Dia ikhlas dibayar berapa pun, termasuk hanya dibayar dengan pemberian singkong. Tak heran ratusan aransemen lagu-lagunya terserak entah di mana.

"Saya bahkan banyak kali hanya menerima ucapan terima kasih. Tetapi saya ikhlas, karena saya senang kita masih bisa memainkan terus kesenian tradisional ini. Saya bahkan sudah pernah menulis buku panduan bagaimana membuat musik bambu. Saya tulis dengan tangan, sayang buku itu dibawa orang dan tidak kembali lagi. Saya ingin itu diterbitkan agar banyak orang tahu," kata Agustinus.

Dedikasi Agustinus dalam menjaga kelestarian kesenian itu, membuatnya sering diundang dalam berbagai kegiatan budaya.

Dia bersama grupnya Welengang Pontolawokang Sawang Jauh banyak kali diundang tampil di luar provinsi, seperti di Jawa, Kalimantan dan Papua.

Terakhir kali mereka tampil pada Perayaan Natal Nasional yang dihadiri Presiden Jokowi di Papua.

"Sewaktu di Papua itulah saya ditelepon panitia seleksi Kehati. Mereka tanya-tanya saya, dan eh tahunya saya kemudian diundang ke Jakarta menerima penghargaan itu. Saya sangat gembira, istri saya menangis karena ada yang memberikan kami penghargaan. Terima kasih bagi yang sudah mengusulkannya," ujar Agustinus.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com