Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Banyak Perajin Songket Berhenti Menenun

Kompas.com - 31/08/2015, 19:30 WIB
PALEMBANG, KOMPAS — Bahan baku tenun songket yang naik seiring melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat membuat keuntungan perajin tenun songket di Sumatera Selatan turun. Kondisi ini memaksa perajin kecil memilih mengurangi menenun dan beralih ke pekerjaan lain.

Al Hijriah (45), Ketua Kelompok Usaha Perajin Songket (KUPS) di kawasan Sungki, Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel), mengatakan, saat ini harga bahan baku songket Palembang naik menjadi Rp 500.000 dari enam bulan lalu yang hanya Rp 340.000.

Bahan baku ini terdiri dari benang dan pernak-pernik pelengkap untuk membuat satu setel kain songket. Perajin yang tergabung di KUPS biasa mengambil bahan ini di pedagang songket di Pasar 16 Ilir untuk dikerjakan di rumah. "Upah kami nanti dipotong dari harga begitu menyerahkan yang sudah jadi," kata Al Hijrah di Palembang, Minggu (30/8).

Akibat kenaikan harga bahan, keuntungan perajin pun turun drastis. Setahun lalu, keuntungan perajin dari satu setel songket mencapai Rp 750.000. Sekitar enam bulan, keuntungan turun menjadi sekitar Rp 500.000. Kini, turun lagi menjadi sekitar Rp 250.000. Padahal, untuk menyelesaikan satu setel kain songket butuh waktu satu bulan.

Di kawasan Sungki, tenun songket dikerjakan ibu-ibu di rumah masing-masing. Awalnya, KUPS punya 65 anggota. Akibat keuntungan yang terus turun, sebagian anggotanya memutuskan berhenti menenun. Saat ini, hanya tersisa 30 perajin.

"Saat ini, mereka hanya setor songket dua bulan sekali. Bahkan, ada yang sampai empat bulan sekali. Saya sendiri juga hanya menenun kalau tak ada kerjaan. Kalau ada kerjaan lain saya memilih kerja itu," ujar Al Hijriah.

Berbeda dengan perajin kecil, pengusaha besar songket Palembang mengimbangi kenaikan harga bahan baku dengan meningkatkan keuntungan dari ekspor. Kendati penjualan dalam negeri menurun dan harga bahan baku naik, keuntungan pengusaha songket dari penjualan di luar negeri masih tertolong.

Pemilik gerai songket Pesona Bari Songket, Eka Rachman, mengatakan, penjualan ke Inggris, Malaysia, dan Brunei masih dapat menolong turunnya keuntungan dari penjualan dalam negeri. "Pasar luar tak terdampak. Menguatnya dollar AS ini membuat harga songket yang dijual ke luar naik," ujarnya.

Tidak terdampak

Pengusaha songket di Sumatera Barat justru mengaku tak terdampak atas melemahnya rupiah. Para pengusaha kain songket yang ditemui di Sawahlunto International Songket Carnival (Sisca) 2015, di Sawahlunto, 28-29 Agustus, mengaku masih bisa meraup keuntungan tanpa harus menurunkan kualitas produk.

Yusnidar (46) dari Dolas Songket asal Desa Lunto Timur, Sawahlunto, mengatakan, ia dan pengusaha tenun songket lainnya belum merasakan dampak dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar. Sejauh ini, pesanan masih tinggi.

"Dibanding sebulan lalu, penjualan malah meningkat sampai 50 persen. Pesanan dari kabupaten kota di Sumatera Barat terus berdatangan. Perajin malah keteteran memenuhi pesanan baik sarung maupun baju. Kalau dihitung, jika sebulan lalu pesanan hanya 30 potong, sekarang sampai 50 potong," kata Yusnidar.

Anita Dona Asri (29) yang juga dari Dolas Songket mengatakan mereka belum menaikkan harga. Hal itu karena harga bahan baku, seperti benang, masih stabil. Rata-rata, sarung masih dijual Rp 400.000 per helai dan baju Rp 300.000 per potong. Sementara harga kain tenun dengan pewarna alam lebih tinggi, yakni sekitar Rp 1.200.000 per helai.

Menurut Dona, inisiasi kegiatan-kegiatan yang mampu mendorong sektor usaha kecil-menengah tetap bergairah terus digalakkan oleh pemerintah. Pada karnaval yang menjadi rangkaian Sisca 2015 kemarin, Sawahlunto berhasil memecahkan rekor Museum Rekor-Dunia Indonesia untuk pengguna kain tenun songket terbanyak yang mencapai 17.920 orang. (IRE/ZAK)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com