Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

HUT Ke-70 RI, Warga Pulau Kera Merasa Belum Merdeka

Kompas.com - 18/08/2015, 20:33 WIB
Kontributor Kupang, Sigiranus Marutho Bere

Penulis

KUPANG, KOMPAS.com - Rakyat Indonesia sudah merayakan HUT Ke-57 Kemerdekaan RI dan semua daerah tentu sudah merasakan langsung pembangunan di segala sektor. Namun hal ini mungkin tidak berlaku bagi ratusan warga penghuni Pulau Kera, yang masuk ke teritorial Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Bagaimana tidak, sebanyak 362 jiwa warga penghuni pulau kecil seluas 48,17 hektar ini dianggap pemerintah setempat sebagai penduduk liar. Akibatnya warga yang sebagian besar berasal dari Suku Bajo, Sulawesi Tenggara, itu tidak bisa menikmati kemerdekaan yang sesungguhnya.

Pembangunan infrastruktur jalan, pelayanan kesehatan, hingga akses pendidikan tidak pernah dirasakan oleh semua warga. Sekitar 60 anak usia sekolah yakni dari 6 hingga 12 tahun terpaksa harus mengurungkan niatnya untuk bersekolah karena memang tidak ada fasilitas sekolah sama sekali.

Ketua RT 2, Hamdani Saba yang ditemui Kompas.com di Pulau Kera, Senin (17/8/2015), mengaku meskipun hidup susah, namun dia bersama warga lainnya tetap memilih menetap di wilayah tersebut karena sudah menyatu. Terlebih, leluhur mereka dimakamkan di pulau tersebut.

“Kami di sini ada 92 Kepala Keluarga dengan jumlah jiwa sebanyak 362 orang. Kami masyarakat pulau Kera ini sangat terisolasi dan tidak pernah merasakan yang namanya kemerdekaan. Kami memilih tinggal di sini karena sejak tahun 1911, nenek moyang kami, suku Bajo, sudah menetap di sini,” terang Hamdani.

Tolak relokasi

Pemerintah Kabupaten Kupang, lanjut Hamdani, pada tahun 2014 lalu berencana untuk merelokasi semua warga pulau Kera ke Pariti, Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang, karena pulau tersebut sudah dijual oleh pemerintah daerah kepada salah seorang pengusaha asal Kota Kupang. Namun kondisi di lahan di daerah baru yang sudah disediakan pemerintah jauh lebih buruk karena berada cukup jauh dari laut, sehingga akan menyulitkan warga untuk beraktivitas.

“Harapan kami pada 70 tahun kemerdekaan Indonesia ini, kalau bisa pak bupati (Bupati Kupang) yang sudah bekerja sama dengan salah seorang pengusaha asal Kota Kupang yang sudah membeli pulau ini, agar jika mau merelokasi kami 92 KK ini, harus benar-benar di tempat yang sesuai dengan latar belakang profesi kami, yakni nelayan,” harap Hamdani.

Menurut dia, rencana pemerintah hendak merelokasi warga Pulau Kera ke Pariti itu salah karena tidak sesuai dengan profesi mereka sebagai nelayan. Lokasi Pariti itu adalah areal persawahan yang tidak sesuai dengan latar belakang profesi nelayan.

"Bagaimana kami sudah dari sononya sebagai pelaut masa sih harus menjadi petani. Apalagi laut di wilayah Pariti itu sangat kotor. Rencana relokasi itu bukannya membuat kami hidup dan berkembang, tetapi secara tidak langsung malah menindas dan membunuh kami secara perlahan,” lanjut Hamdani.

Hamdani pun berharap kepada Presiden Joko Widodo agar bantu mencari jalan keluar yang terbaik buat warga Pulau Kera.

"Mudah-mudahan kampanye pak Jokowi tentang revolusi mental itu betul-betul mau merevolusi mental pejabat, agar tidak membuat kotak-kotak dalam pelayanan di tengah masyarakat. Selama ini, warga Pulau Kera tidak pernah merasakan pembangunan apapun oleh pemerintah. Semoga pak Jokowi bisa mendengar dan melihat keluhan kami melalui media massa,” kata Hamdani.

Masalah utama

Senada dengan itu, tokoh agama Pulau Kera, Arsyad Abdul Latif, mengatakan, warga Pulau Kera ini lebih dari 90 persen beragama Islam dan sisanya Kristen serta Katolik. Sebagian besar berasal dari suku Wajo, Timor, Flores dan Rote.

Menurut Latif, ada tiga hal utama yang menjadi permasalahan di wilayahnya, yakni pendidikan, kesehatan dan air bersih. Untuk pendidikan, sebanyak 60 anak tidak bersekolah, sedangkan kesehatan, banyak anak balita yang terkena gizi buruk. Sementara itu di tempatnya tidak memiliki air tawar, sehingga warga terpaksa menyeberang dengan menggunakan perahu untuk membeli air ke Kota kupang dengan dengan jarak tempuh lebih dari satu jam.

“Di tempat kami ini hanya memiliki tiga sumur, namun semua airnya asin, sehingga untuk masak dan minum, kami harus beli di Kupang dengan harga per jerigennya Rp 2.000. Sementara untuk mandi dan cuci kami pakai air laut,” kata Latif.

“Kadang-kadang kita menyampaikan keluhan kita tentang tidak adanya jaminan kesehatan masyarakat, BPJS dan bantuan langsung tunai, tetapi para pejabat mengatakan bahwa kami ini penduduk liar sehingga kami warga di sini merasa sedih,” lanjut Latif lagi.

Hal itu, kata Latif, justru sangat aneh karena pada saat pemilihan kepala daerah maupun pemilihan legislatif, ia dan warga lainnya malah dilibatkan.

"Kami malah dilibatkan pada saat pemilu, berarti kami juga warga negara Indonesia kan. Kita warga Pulau Kera berharap, pak Jokowi melihat dan memperhatikan kami sebagai warga Negara Indonesia, sama seperti suku-suku yang lain,” pungkasnya.

Untuk diketahui, Pulau Kera secara administrative masuk ke wilayah Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang dan letaknya di antara Pulau Timor dan Pulau Semau. Untuk mencapai Pulau Kera, banyak pilihan tempat untuk diakses dari Kota Kupang, yakni melalui pelabuhan Tenau, PPI Oesapa dan PPI Oeba dengan jarak tempuh antara 1 sampai 1,5 jam.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com