Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rahman Arge Menggelinding Tanpa Banyak Cincong

Kompas.com - 11/08/2015, 00:22 WIB

Catatan Kaki Jodhi Yudono

"Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Dukacita yang dalam atas wafatnya seniman dan budayawan Sulsel, Rahman Arge," demikian tweet Wakil Presiden Jusuf Kalla pada Senin (10/8/2015) pagi.

Ya, jurnalis senior sekaligus budayawan, Abdul Rahman Gega atau Rahman Arge, meninggal dunia, Senin, sekitar pukul 10.00 WIB pada usia 80 tahun.

Rahman Arge lahir pada 17 Juli 1935 di Makassar, Sulawesi Selatan. Rahman Arge (RA) pernah mendeklarasikan prinsip hidupnya: menggelinding tanpa banyak cincong.

Prinsip hidup RA terus berada dalam pusaran kreativitas hingga ia selalu berkata: aktor jangan sampai kehilangan panggung. Oleh sebab itu, jangan berhenti berkarya.

Begitulah. Rahman seperti sedang menggenapi keinginannya untuk mati mulia, seperti pada puisinya, "Mati Bersantan".

Bila kelak engkau melayari nasibmu, anakku
Ingatlah,
Kelilingi tujuh kali dapurmu
Agar cahaya memancar dari hidupmu
Keagungan lelaki merengkuhmu

- Lelaki dari segala lelaki
- Peziarah tanah Makassar

Lelaki…
Lelaki dari tiga ujung:
- Merendah tapi tajam kata-kata
- Berdiri di kemuliaan perempuan
- Yang mencabut badik jika tak ada lagi jalan

Maka jika kelak kematian hadir, anakku
Pilih mati,
Kematian bersantan*
----------
* Kematian bersantan = kematian yang mulia

Maka dari itu, saat kematian menjemput RA, kita pun seperti menyaksikan seorang aktor yang telah merampungkan tugas keaktorannya di panggung dengan gemilang sehingga kita pun menyorakinya sebagai tanda penghormatan untuknya.

Sebagai manusia kesenian, rasanya RA sudah berada di puncak, terutama di Makassar. Semua sudah dilaluinya. Mulai dari menjadi penulis naskah drama, sutradara, pemeran, hingga sebagai penyair telah dia lalui dengan paripurna.

Rahman Arge mengaku bersekolah di SMA Wartawan "Amanna Gappa College" selama dua tahun, kemudian studi di Akademi Seni Drama Indonesia (ASDI) sejak 1959 hingga 1961 di Makassar. Kariernya di dunia kesenian berawal dari menekuni seni lukis. Namun sejak 1955, RA kemudian tertarik pada bidang sastra dan drama. Saat berusia dua puluh tahun itulah, RA aktif menulis cerpen, naskah drama, puisi, dan esai.

"Dalam berkesenian, saya memakai filosofi Pancasila. Dalam proses berkesenian tidak ada kata selesai, tetapi apa yang dicapai sekarang ini belum sampai di sini," tutur penyuka warna hitam ini suatu ketika.

Perjalanan kesenian RA pun kemudian mengalir seperti sungai yang tak pernah kering. Dia kemudian menjadi sutradara drama yang berkali-kali menampilkan diri dan karyanya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com