Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kekerasan Meningkat, Magelang Belum Punya Perda Perlindungan Anak dan Perempuan

Kompas.com - 05/08/2015, 18:10 WIB
Kontributor Magelang, Ika Fitriana

Penulis

MAGELANG, KOMPAs.com - Pemerintah Kabupaten Magelang dinilai masih lamban menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di wilayah ini. Apalagi kasus kekerasan berbasis gender itu justru semakin menunjukkan tren pengingkatan setiap tahun.

Atas kondisi tersebut, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Sahabat Perempuan mendorong Pemerintah Kabupaten Magelang untuk segera menerbitkan peraturan daerah (Perda) yang mengatur tentang perlindungan terhadap perempuan dan anak.

"Kami berharap Raperda Perlindungan Perempuan dan anak Kabupaten Magelang bisa segera terwujud. Pasalnya kasus kekerasan perempuan dan anak masih terus terjadi," ujar Ketua Pelaksana Sahabat Perempuan, Wariyatun, Rabu (5/8/2015).

Wariyatun menyebutkan, dari catatan Sahabat Perempuan, telah terjadi 18 kasus kekerasan perempuan dan anak selama semester pertama tahun 2015 ini. Meliputi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebanyak 10 kasus, kekerasan seksual anak (KSA) 6 kasus, kasus pelecehan seksual 6 kasus dan kekerasan dalam pacaran satu kasus.

Selain itu, kata Wariyatun, tidak sedikit pula para perempuan yang kerap berkonsultasi dengannya lantaran berbagai kasus. Seperti perempuan yang sudah berumah tangga maupun berpacaran yang berkonsultasi lantaran pernah menjadi korban kekerasan tapi juga menjadi pelaku kekerasan dengan alasan balas dendam karena pasangan berselingkuh.

"Kami pun tidak bisa menolak perempuan sebagai pelaku kekerasan. Hanya saja kami akan memberikan alternatif pilihan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi untuk kebaikan bersama. Namun keputusan ada di tangan klien, dan konselor tidak memiliki wewenang untuk mengarahkan klien untuk memilih solusi," katanya.

Staf informasi dokumentasi dan publikasi Sahabat Perempuan, Dian Prihatini, menambahkan bahwa baik korban maupun pelaku kekerasan memiliki latar belakang pendidikan dan pekerjaan yang bervariasi. Secara umum, presentase latar belakang pendidikan pelaku kekerasan sebanyak 22 persen lulusan SLTA, 16 persen lulusan SD, dan 5 persen untuk SLTP, sedangkan sisanya tidak terdata.

Sedangkan latar belakang berpendidikan korban kekerasan antara lain lulusan SMA sebanyak 44 persen, lalu SD 27 persen, SMP 16 persen dan perguruan tinggi sebanyak 5 persen, dan sisanya belum terdata.

Adapun latar belakang pekerjaan pelaku sebanyak 27 persen adalah swasta, 16 persen buruh, 11 persen pelajar, 5 perseb petani, dan sisanya tidak terdata. Sementara untuk pekerjaan korban sebanyak 33 persen swasta, pelajar dan ibu rumah tangga masing-masing 22 persen, pekerja rumah tangga dan buruh masing-masing 11 persen.

"Latar belakang pendidikan dan pekerjaan, baik pelaku maupun korban tidak bisa menjadi patokan atau faktor terjadinya kekerasan. Bisa jadi orang yang sudah dianggap kaya justru melakukan kekerasan, begitu pula orang yang hidup berkekurangan juga tidak menjamin tidak akan melakukan kekerasan," ungkap Dian.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com