Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kota Solo: Menata Kota untuk Rakyat

Kompas.com - 23/07/2015, 15:00 WIB


Oleh Erwin Edhi Prasetya

Kota Solo di Jawa Tengah, yang secara formal disebut Surakarta, terus bebenah. Gebrakan- gebrakan yang dilakukan pada masa kepemimpinan Wali Kota Joko Widodo terus dilanjutkan pada masa kepemimpinan Wali Kota FX Hadi Rudyatmo saat ini. Gebrakan itu, misalnya, revitalisasi pasar-pasar tradisional, penataan pedagang kaki lima, penataan kawasan kumuh di pinggiran Sungai Kali Pepe dan pembangunan rumah deret, serta penataan Kampung Laweyan dan Kauman menjadi kampung wisata.

Pemkot Solo terus merevitalisasi pasar-pasar tradisional. Rudyatmo mengatakan, 23 dari 43 pasar tradisional telah direvitalisasi. Selain renovasi, pasar-pasar tradisional yang kondisinya memprihatinkan dibangun baru. Pemkot Solo juga membangun beberapa pasar tradisional yang baru. "Di Solo, pasar tradisional bertambah, dari 37 pasar sekarang menjadi 43," ujar Rudyatmo yang biasa disapa Rudy ini.

Pada 1 Juni, Pemkot Solo meresmikan pembangunan Pasar Tanggul di Kampung Sewu, Kecamatan Jebres, menggantikan pasar lama yang sudah tidak layak. Pasar yang menampung 399 pedagang ini dibangun berlantai dua dengan dana dari APBD Solo sebesar Rp 14 miliar.

Pasar Tanggul ini berkonsep modern dilengkapi tangga datar berjalan (travelator) seperti di mal-mal yang menghubungan lantai satu dan dua. Fasilitas ini untuk memudahkan pembeli dan pedagang mengakses lantai satu dan dua.

"Kami ingin memberikan kenyamanan kepada pembeli dan pedagang sehingga diharapkan pasar tradisional sebagai penggerak ekonomi rakyat akan semakin hidup," ujar Rudy.

Pada Maret lalu, pemkot juga meresmikan Pasar Sibela di Mojosongo, Kecamatan Jebres, yang dibangun dengan biaya Rp 4,7 miliar. Pemkot Solo tengah merampungkan renovasi Pasar Gede karya arsitek Belanda Thomas Karsten, pada gedung sisi barat.

"Pasar Gede sisi barat akan dikembalikan semula sebagaimana rancangan awal Karsten," ujar Kepala Dinas Pengelolaan Pasar Kota Solo Subagiyo.

Namun, pada saat gencar merevitalisasi pasar tradisional, terjadi musibah, Pasar Klewer terbakar. Pusat perdagangan eceran serta grosir batik, garmen, dan tekstil terbesar di Jateng tersebut terbakar hebat pada akhir Desember lalu.

Pemkot Solo pun mengambil langkah cepat dengan membangun pasar darurat yang terdiri dari 1.420 kios dan 864 los di Alun-alun Utara Keraton Surakarta. Pembangunan pasar darurat dilakukan untuk segera memulihkan aktivitas perdagangan Pasar Klewer.

Penataan pedagang kaki lima (PKL) pun terus dilakukan Setelah sukses merelokasi 989 pedagang kaki lima (PKL) klithikan (barang bekas) Banjarsari ke Pasar Klithikan Notoharjo pada 2006. PKL yang selama ini berjualan dengan mendirikan kios-kios dan lapak seadanya di trotoar dan pinggir-pinggir jalan ditata masuk ke dalam pasar.

Pada 2013, pemkot membangun Pasar Elpabes (elektronik dan pakaian bekas) di Banjarsari dengan anggaran Rp 11 miliar. Pasar ini memiliki 206 kios yang menampung PKL Banjarsari.

Disusul kemudian pembangunan Pasar Ngudi Rejeki di Gilingan dengan dana APBN dan APBD sebesar Rp 14,3 miliar. Pasar berlantai tiga ini menampung 416 PKL yang sebelumnya berjualan di Jalan S Parman, Jalan Sabang, dan Jalan Ahmad Yani, Banjarsari. Mereka biasa berjualan barang bekas pakai ataupun baru, seperti sepeda, sepatu, kain batik, serta ada juga pedagang sayur dan peralatan rumah tangga. Selain membangun pasar baru, Pemkot membuat shelter-shelter untuk menampung PKL kuliner.

Dari target penataan PKL sebanyak 5.817 yang dicanangkan pada tahun 2005, sampai dengan akhir tahun 2014 telah ditata sebanyak 4.441 PKL. "Hingga saat ini, sekitar 5.000 PKL telah ditata," ujar Subagiyo.

Hananto (32), salah satu PKL yang ikut boyongan menempati Pasar Ngudi Rejeki, mengapresiasi Pemkot Solo yang tidak asal menggusur PKL untuk menata kota, tetapi menyediakan tempat layak untuk berjualan. Meski begitu, dia mengaku setelah pindah ke kios di Pasar Ngudi Rejeki, justru omzet penjualannya turun drastis dibandingkan ketika berjualan di kios PKL pinggir jalan. Sebelum pindah omzetnya sekitar Rp 300.000 per hari dari jualan kaus, kini kurang dari setengahnya.

"Banyak pembeli dan pelanggan belum tahu PKL telah pindah di sini. Namun, sekarang pasar ini semakin ramai pembeli walaupun omzet belum pulih seperti semula," ujarnya.

Kawasan Monumen 45 Banjarsari, yang sebelum penataan sesak dijejali deretan kios PKL, kini lebih rapi. Kios-kios PKL yang awalnya mulai muncul dan dibangun seadanya pasca rusuh Mei 1998 telah dibongkar.

Rumah deret

Pemkot Solo juga gencar menata kawasan kumuh di Bantaran Sungai Pepe. Penataan dilakukan dengan membangun rumah deret serta membuat ruang publik dan taman hijau di pinggir sungai. Instalasi pengolahan limbah komunal dibangun sehingga warga tidak lagi membuang limbah rumah tangganya langsung ke sungai.

Setelah menyelesaikan pembangunan rumah deret untuk 36 keluarga di Kampung Pringgading, Banjarsari, pada 2014, tahun ini Pemkot Solo merampungkan pembangunan rumah deret susun sewa di Keprabon. Dua rumah deret susun sewa berlantai tiga dibangun persis di pinggir Sungai Pepe. Rumah deret ini menggunakan sistem sewa karena dibangun di atas tanah negara.

Rumah deret sewa Keprabon sisi barat berkapasitas 52 unit tempat tinggal di lantai satu dan tiga. Adapun lantai satu digunakan untuk tempat usaha sebanyak 13 kios. Rumah deret sewa sisi timur berkapasitas 18 tempat tinggal di lantai dua dan tiga serta 10 kios di lantai satu. Dua rumah deret itu dibangun dengan anggaran murni APBD Solo tahun 2014 dan 2015 sekitar Rp 15 miliar.

Menurut Rudy, embrio rumah deret lahir pada 1993. Saat itu, Rudy yang menjadi Ketua RT 002 RW 009, Pucang Sawit, bersama warga secara swadaya membangun rumah deret sederhana untuk 10 keluarga dengan ukuran masing-masing 6 meter x 6 meter. Pembangunannya menghabiskan dana total Rp 1,2 juta.

"Rumah deret akan terus dibangun. Sepanjang sungai akan ditata supaya sungai menjadi halaman. Air adalah sumber kehidupan sehingga harus dijaga bersama-sama," ujarnya.

Sadono (63), warga Keprabon, Banjarsari, mengatakan, telah 12 tahun tinggal di rumah petak di pinggir Sungai Pepe. Dengan dibangunnya rumah deret sewa, Sadino mengaku mendapatkan jatah satu unit di lantai tiga. Setiap bulan, penghuni membayar sewa Rp 80.000 untuk lantai tiga dan Rp 100.000 untuk lantai dua. "Saya bisa menjadi hak milik," ujarnya.

Rudy mengatakan, masih banyak pekerjaan rumah harus diselesaikan pemkot. Selain membangun kembali Pasar Klewer, pemkot harus mengatasi ancaman banjir akibat luapan Sungai Pepe kiriman dari Boyolali. Pemkot didukung pemerintah pusat berencana membangun waduk kecil atau embung di area Bendung Karet Tirtonadi.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Juli 2015, di halaman 22 dengan judul "Menata Kota untuk Rakyat".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com