Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kampung Penuh Kotoran Sapi yang Kini Jadi Sentra Biogas

Kompas.com - 01/07/2015, 12:08 WIB
Kontributor Bengkulu, Firmansyah

Penulis

BENGKULU, KOMPAS.com - "Kampung ini dahulunya penuh kotoran sapi bertebaran di tiap sudut, sekarang kotoran itu menjadi berkah untuk kami," kata Subario, warga RT 08, RW 3, Jalan Jenggalu, Kelurahan Lingkar Barat, Kota Bengkulu. Subario adalah peternak sapi yang dipercaya sebagai Ketua Kelompok Peternak "Muara Dwipa".

Mengubah kotoran sapi menjadi berkah merupakan impian bagi puluhan kepala keluarga yang tinggal di kawasan tersebut. "Kami awalnya kerap malu dan bingung dengan banyaknya kotoran sapi di tempat kami ini, maklum kebanyakan penduduk di sini adalah peternak sapi, kalau ada tamu datang kami malu banyak kotoran sapi," lanjut Subario.

Subario mengisahkan, sekitar lima tahun lalu, di tengah kekhawatiran masyarakat dengan banyaknya kotoran sapi di kampung mereka, maka datanglah ajuan pembuatan biogas dengan memanfaatkan kotoran sapi. "Programnya dari APBN, difasilitasi oleh Dinas Peternakan," jelas Subario.

Terdapat 16 rumah tangga mendapatkan bantuan pengelolaan kotoran sapi menjadi biogas, program ini diluncurkan di daerah tersebut mengingat banyaknya sapi di kawasan itu. "Terdapat lebih dari 100 ekor sapi di sini," kata Subario.

Sejak bergulirnya bantuan tersebut hingga kini, warga di kawasan ini kata Subario tak lagi bergantung pada gas elpiji dan kayu bakar. "Biasanya warga menggunakan kayu bakar atau elpiji, sekarang tak pernah lagi, cukup dengan biogas," ungkap Subario sambil menghidupkan kompor gasnya.

Selain dimanfaatkan untuk menyalakan kompor, biogas juga dimanfaatkan untuk lampu penerang yang digunakan saat aliran PLN mati. Energi ini mampu membuat lampu bertahan hingga beberapa jam.

Cara kerja
Subario mengajak ke belakang rumahnya untuk memperlihatkan peralatan yang ia miliki. Terdapat satu fiber berukuran besar, diapit dua bak semen berukurang 0,5 meter X 1 meter. S tu bak digunakan untuk memasukkan kotoran sapi ke dalam fiber sembari di siram air, dan kotak semen terakhir merupakan tempat pembuangan saat kotoran sapi telah digunakan.

Sementara fiber berguna untuk mengendapkan kotoran sapi menjadi gas. "Kotoran sapi yang biasa menumpuk setiap pagi di kandang, dibuat bak penampungan yang posisinya lebih rendah dari kandang sapi. Jadi, pagi hari saya tinggal semprot saja selang air ke lantai kandang sapi, kotoran pun berpindah ke bak penampungan," kata dia.

Untuk satu gerobak sorong kotoran sapi dibutuhkan sekitar 100 liter air, setelah ditampung di bak penampungan kotoran tersebut diaduk menggunakan kayu dan didiamkan sekitar dua jam. Setelah itu, kotoran sapi akan berpindah ke tabung fiber dan menjadi gas. Gas pun dipakai untuk menyalakan api di kompor.

"Selama satu bulan membutuhkan 500 kilogram kotoran sapi, bayangkan ada 16 alat biogas di sini artinya membutuhkan delapan ton kotoran sapi, jadi wajar kotoran sapi sekarang sulit dicari di daerah sini," kata Subario tertawa.

Menurut dia, empat kubik kotoran sapi bisa digunakan selama empat jam pemasakan. Gas dari kotoran itu akan semakin baik saat musim panas, matahari mempercepat proses pembuatan gas.

Mitigasi perubahan iklim
Dosen Fakultas Kehutanan, sekaligus peneliti perubahan iklim, Universitas Bengkulu, Gungun Senoaji mengungkapkan,  laporan inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) Provinsi Bengkulu Tahun 2014, melingkupi data aktivitas dalam tahun 2006 hingga 2013, menggambarkan peningkatan signifikan.

Pada tahun 2006, total emisi GRK mencapai 1.363,31 Gg CO2-e, dan meningkat menjadi 6.685,15 Gg CO2-eq pada tahun 2013. Pada selang periode selama tujuh tahun telah terjadi peningkatan emisi GRK sebesar 5.321,84 Gg CO2-e atau 760,26 Gg CO2-e per tahunnya.

"Sektor peternakan menyumbang emisi terbesar keempat sebesar 244,15 Gg CO2-e, urutan pertama pengadaan dan penggunaan energi, menghasilkan emisi terbesar di Bengkulu," ungkap Gunggung Senoaji.

Gunggung mengatakan sapi menghasilkan kotoran, sendawa serta kentut yakni CH4 atau gas metan. Gas ini 21 kali lebih berbahaya dari asap knalpot kendaraan bermotor atau CO2 yang merusak lapisan ozon, dan mengakibatkan pemanasan global, memicu perubahan iklim.

"Jadi langkah yang dilakukan Pemerintah dengan masyarakat memanfaatkan kotoran sapi menjadi biogas adalah bentuk mitigasi perubahan iklim, yang artinya tindakan aktif untuk mencegah, memperlambat terjadinya perubahan iklim, pemanasan global dan mengurangi dampak perubahan iklim, pemanasan global," ungkap Gunggun. 

Sementara itu, Kepala Bidang Pengembangan Usaha, Dinas Peternakan Provinsi Bengkulu, Mohamad Iqbal, menyatakan di Bengkulu terdapat 120 ribu ekor sapi dan 40 ribu ekor kerbau dan berpotensi dimanfaatkan kotorannya menjadi biogas.

"Program ini dilakukan memang sebagai upaya mitigasi perubahan iklim dengan memanfaatkan kotoran sapi sebagai sumber metan menjadi biogas, program semacam itu akan terus ditingkatkan, namun masyarakat diharapkan dapat pula merawat dan mengembangkan peralatan dan pengetahuan yang telah diberikan itu," kata Mohamad.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Regional
Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Regional
Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Regional
Komunikasi Politik 'Anti-Mainstream' Komeng yang Uhuyy!

Komunikasi Politik "Anti-Mainstream" Komeng yang Uhuyy!

Regional
Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Regional
Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Regional
Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Regional
Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Regional
Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Regional
Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Regional
Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Regional
BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

Regional
Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Regional
Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di 'Night Market Ngarsopuro'

Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di "Night Market Ngarsopuro"

Regional
Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com