Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lhokseumawe: Setelah Kota Petrodolar Mati...

Kompas.com - 19/06/2015, 15:00 WIB


Oleh Adrian Fajriansyah

Kota Lhokseumawe, Aceh, dikenal sebagai "Kota Petrodolar" pada masa jaya perusahaan gas PT Arun Natural Gas Liquefaction Co periode 1980-1990. Sayang, jejak kejayaan itu tidak bersisa pasca perusahaan itu berhenti produksi tahun 2014. Hal itu berimbas negatif pada sektor perekonomian, ditandai turunnya daya beli dari masyarakat.

Di sisi lain, pemerintah setempat belum mengembangkan sektor potensial, seperti jasa, pariwisata, dan pendidikan.

Kota Lhokseumawe ditetapkan pemerintah pusat pada 21 Juni 2001. Kota berpenduduk sekitar 180.000 jiwa ini berada di tengah jalur timur Sumatera, antara Banda Aceh dan Medan (Sumatera Utara). Letak persisnya 276 kilometer (km) ke arah selatan dari Banda Aceh dan 333 km ke arah utara dari Medan. Lhokseumawe menghadap laut Selat Malaka. Posisi seperti itu membuat kota ini ideal sebagai jalur distribusi dan perdagangan antara Indonesia dan negara tetangga, Malaysia, pula.

Kota seluas 181 km persegi itu menyimpan kekayaan alam berlimpah, antara lain gas dan minyak. Pemerintah bekerja sama dengan swasta menemukan gas dalam jumlah besar, sekitar 17,1 triliun kaki kubik di kawasan Arun pada 1970. Penemuan itu memicu berdirinya PT Arun Natural Gas Liquefaction (NGL) pada 16 Maret 1974.

PT Arun NGL adalah penghasil LNG (gas alam cair) terbesar di dunia pada medio 1990-an. LNG yang dihasilkan diekspor ke sejumlah negara, terutama Jepang. Gas dari perusahaan itu menjadi penyumbang devisa terbesar bagi Lhokseumawe dan Indonesia pada periode 1980-1990.

Penemuan gas dalam jumlah besar dan berdirinya PT Arun NGL memberikan perubahan positif bagi Lhokseumawe. Kondisi itu memicu berdirinya sejumlah industri yang bergantung pada gas, seperti perusahaan penghasil pupuk urea dan amoniak PT Pupuk Iskandar Muda. Selanjutnya, perusahaan penghasil kertas kantong semen PT Kertas Kraf Aceh di Kabupaten Aceh Utara, pabrik penghasil pupuk urea PT Asean Aceh Fertilizer di Lhokseumawe, dan sejumlah perusahaan tambang minyak di Aceh Utara.

Perekonomian masyarakat tumbuh pesat di Lhokseumawe karena kehadiran perusahaan itu. Lhokseumawe disebut Kota Petrodolar karena daya beli warganya yang tinggi. Perekonomian tumbuh dan banyak orang luar bekerja di Lhokseumawe.

Warga Lhokseumawe, yang juga mantan pekerja Mobil Oil Indonesia di Aceh Utara, Syamsuddin (48), menjadi saksi ketika Lhokseumawe menjadi kota nan kaya itu. Daya beli masyarakat sangat tinggi saat itu. Sayur-mayur, ikan, daging ayam, dan daging sapi selalu habis dibeli warga sebelum pukul 11.00. Jika Ramadhan, warga selalu antre berbelanja di pasar.

"Jadi pedagang enak sekali ketika itu. Apa pun yang mereka jual pasti laku," ujarnya di Lhokseumawe, pekan lalu. Syamsuddin melanjutkan, muncul banyak juragan di Lhokseumawe.

Berangsur turun

Namun, semua itu berubah ketika produksi PT Arun NGL turun drastis tahun 2000-an dan berhenti produksi pada Oktober 2014. Kondisi itu membuat perusahaan yang bergantung pada gas tutup bertahap sejak awal tahun 2000.

Situasi itu berdampak negatif terhadap perekonomian masyarakat Lhokseumawe sejak tahun 2000-an. Kondisi itu semakin turun, setelah Aceh dilanda tsunami tahun 2004. Keadaan Lhokseumawe kian sulit kala mayoritas pendatang meninggalkan kota itu ketika konflik di Aceh semakin meluas.

Syamsuddin pun adalah saksi kondisi itu. Daya beli masyarakat turun drastis, bahkan hilang sama sekali saat ini. "Juragan yang dahulu ada pun kini menjadi buruh atau tukang," ujarnya.

Syamsuddin pun tidak kerja lagi di Mobil Oil Indonesia sejak 2010 karena perusahaan itu berhenti beroperasi. Ia mencoba berbagai profesi untuk melanjutkan hidup, seperti beternak ayam, membuka sawah, dan menjadi pedagang bahan pokok. Namun, semuanya gagal karena daya beli masyarakat tidak ada.

Cerita Syamsuddin itu dibenarkan oleh sejumlah pelaku usaha di Lhokseumawe. Tingkat penjualan dagangan mereka jauh menurun dibandingkan ketika era kejayaan PT Arun NGL.

Ibrahim (56), pemilik warung pempek Boim di depan kantor PT Arun NGL, menuturkan, kini penjualan dagangannya tak lebih dari 500 potong pempek segala jenis per hari. Padahal, pada masa lalu, penjualannya bisa mencapai 800 potong pempek segala jenis per hari.

Sektor potensial

Dosen Antropologi Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, Teuku Kemal Fasya, menyebutkan, kondisi Lhokseumawe kini akibat pemerintah terbuai dengan booming migas pada era kejayaan PT Arun NGL. Mereka tidak memiliki rencana jangka panjang untuk menjaga stabilitas perekonomian Lhokseumawe.

Fasya melanjutkan, pemerintah harus segera mengatasi kondisi saat ini agar masyarakat tak terus berada dalam kondisi sulit. Pemerintah harus mengembangkan sektor potensial di Lhokseumawe, seperti jasa, pariwisata, dan pendidikan.

Hal itu memungkinkan. Pada sektor jasa, terutama bidang transportasi, bisa berkembang karena Lhokseumawe berada di tengah jalur perlintasan Banda Aceh-Medan. Sektor pariwisata bisa berkembang karena kota itu memiliki sejumlah lokasi wisata yang alami seperti Pantai Ujong Blang, Pantai Rancong, dan Air Terjun Blang Kolam.

Lhokseumawe pun memiliki potensi wisata sejarah berupa Bukit Gua Jepang. Tempat wisata itu tak jauh dari pusat Kota Lhokseumawe. Sektor pendidikan bisa berkembang karena Lhokseumawe memiliki banyak lembaga pendidikan, seperti 10 kampus perguruan tinggi.

Menurut Fasya, segala potensi itu jika dikembangkan bisa menghidupkan kembali perekonomian Lhokseumawe. Orang akan datang atau singgah ke kota itu ketika melintas jalur Banda Aceh-Medan.

Jika hal itu terjadi, warga setempat bisa memanfaatkannya untuk membuka usaha, seperti warung makan, kios cendera mata, tempat kos, atau penginapan. "Hal itu bisa memicu perputaran uang di Lhokseumawe," jelas Fasya lagi.

Namun, berdasarkan pantauan Kompas, pemerintah setempat belum mengembangkan sejumlah potensi itu dengan optimal hingga kini. Sejumlah jasa transportasi masih dikembangkan mandiri oleh swasta atau warga, tanpa dukungan pemerintah. Akibatnya, jika kehabisan modal, pelaku usaha jasa transportasi itu gulung tikar.

Tempat wisata pun belum memiliki infrastruktur yang memadai, seperti belum ada jalan yang baik, tidak ada lampu penerangan, dan tak ada penunjuk arah atau media promosi. Layanan kesehatan juga masih jauh dari lokasi wisata.

Selama ini masyarakat yang berusaha menghidupkan pariwisata Lhokseumawe. Mereka membuat kedai yang menyediakan makanan/minuman, tempat parkir, tempat duduk, dan membersihkan di lokasi wisata.

Pemilik kios minuman di Pantai Ujung Blang, Ida (50), pun berharap pemerintah segera bertindak nyata.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Juni 2015, di halaman 24 dengan judul "Setelah Kota Petrodolar Mati...".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com