Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Anakku Bukan Anak Haram..."

Kompas.com - 17/06/2015, 12:31 WIB
Kontributor Semarang, Nazar Nurdin

Penulis

KOMPAS.com — Anik Safitri kini telah berusia 14 tahun. Gadis muda itu baru saja menyelesaikan pendidikannya dari SMP Undaan 2 di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.

Seusai lulus, ia tak melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Sesuai dengan tradisi keluarganya, ia dijodohkan dengan pemuda dari kampung sebelah, Faiz Riyandi.

Anik adalah anak dari tokoh Samin atau Sedulur Sikep Kabupaten Kudus, Budi Santoso dan Tianah. Meski mempunyai keluarga yang jelas, Anik dianggap "anak haram". Dalam akta kelahiran yang diterbitkan dinas catatan sipil setempat, Anik diakui sebagai anak dari hubungan di luar pernikahan. Dalam kartu keluarga, Tianah menjadi kepala keluarga, sementara Budi menjadi anggota keluarga.

Anik bersama keluarganya tinggal di Desa Larikrejo, Kecamatan Undaan, Kudus, 15 kilometer dari Kota Kudus. Dua kakaknya perempuan semua, dan telah disahkan oleh negara dari hasil perkawinan Budi Santoso-Tianah. Namun, hanya Anik yang dianggap hasil hubungan gelap.

Dua kakak perempuannya kini telah menikah, pada usia dini, yakni jelang 16 tahun. Mereka adalah Sarah, yang kini berusia 18 tahun dan telah menikah dengan Isyeh Syahroni, 19 tahun, pada 2013 lalu. Sementara itu, kakak kedua Anik, Dwi Winarti, kini 16 tahun, menikah dengan Anteng Wijanarko, 18 tahun, pada awal Februari 2015.

Perjodohan Anik dengan Faiz dimulai tak lama setelah Dwi dan Anteng menikah. Pasangan itu sudah sering pergi berdua ke berbagai tempat. Agar tak menimbulkan kecurigaan dan fitnah di kalangan masyarakat, kedua keluarga bersepakat untuk menjodohkan mereka.

Pernikahan "dini" Samin
Dalam tradisi perjodohan Samin atau Sedulur Sikep, menikah mempunyai prasyarat dan syarat yang khusus. Sebelum melangsungkan perkawinan, pihak pria terlebih dulu diminta membantu urusan perkerjaan keluarga pihak perempuan.

Proses bantu-membantu ini diyakini ampuh untuk sekadar menguji komitmen si lelaki. Dia diajarkan rasa tanggung jawab. Proses itu bagian dari adat yang wajib dilakukan agar si lelaki senantiasa siap mengambil alih tanggung jawab menjadi pemimpin rumah tangga.

Seperti lazimnya gadis yang tinggal di pedesaan, menikah dalam usia dewasa dianggap hal aneh. Menikah dalam usia 16 tahun dianggap sebagai kewajaran.

Keluarga Samin, Budi Santoso, pun mempraktikkan hal tersebut karena ketiga anaknya perempuan semua. Ia tak ingin ada suara sumbang terdengar di telinganya, ketika anaknya tak cepat menikah. Dia pun menganjurkan anak-anaknya menikah setelah tukul kembange (muncul kembang) atau menstruasi.

Kendati demikian, tak ada tatanan baku dalam prosesi pernikahan. Beberapa prosesi adat dipraktikkan dalam proses tataning rabi (tata cara pernikahan). Ajaran Sedulur Sikep tak tertulis atau terbukukan, tetapi diajarkan dalam tutur lisan. Pihak perempuan yang telah mengalami tukul kembang dalam ajarannya sudah diperbolehkan menikah.

"Patokane (acuannya) sudah tukul kembange. Jika diusiakan, kira-kira berumur 14 tahun, sudah boleh ditembung (dilamar). Kalau laki-laki selambahe kuat luku (kuat bajak di sawah)," ujar Budi saat ditemui pada awal pekan ini.

Mayoritas kaum Samin sendiri berprofesi sebagai petani. Setelah diperbolehkan menikah, proses selanjutnya adalah paseksen, atau pernikahan yang disaksikan oleh empat orangtua. Sanak keluarga besar dan masyarakat umum juga diundang hadir untuk jadi saksi bahwa pasangan ini telah menikah.

Budi berujar, di kampungnya, seperti juga yang diyakini dalam ajaran Samin, perempuan menikah pada umur 15 tahun adalah hal yang wajar, sementara laki-laki umur 17 tahun. Dia pun mengaku telah tahu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU Perlindungan Anak.

"Tapi mung tahu, tidak dilaksanakan. Kalau enggak segera dinikahkan, nanti dianggap perawan tua, tidak laku," ujar dia.

Menurut UU Perlindungan Anak, usia layak menikah adalah 19 tahun untuk perempuan, dan 21 tahun untuk laki-laki. Adapun menurut UU Perkawinan, usia layak menikah minimal 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. Usia boleh di bawah itu asalkan atas izin pengadilan agama melalui sidang dispensasi nikah.

Sementara itu, usia 15 tahun untuk perempuan dan 17 tahun untuk laki-laki tidak dijadikan patokan oleh para pemuda Samin.

Menurut Gumani, pemuda Samin Kudus, usia menikah memang boleh 15 tahun, tetapi itu tidak menjadi patokan. Dia bersama pemuda lain pun menikah dalam usia yang lebih dewasa.

Rata-rata, menurut Gumani, pemuda Sikep menikah pada umur 22 tahun untuk laki-laki dan 17 tahun untuk perempuan. Gumani, misalnya, mempersunting istrinya, Indah (19), saat ia berumur 25 tahun.

Kawan Gumani, Mulyono, menikah pada usia 22 tahun dengan gadis bernama Lia, yang berusia 19 tahun. "Usia lima belas tahun tidak jadi patokan, mung aturane tukul kembange untuk perempuan, laki-laki kuat luku sawah," ucap Gumani.

Jadi ibu rumah tangga
Setelah menikah, perempuan Sikep lebih banyak menjadi ibu rumah tangga. Untuk itu, Anteng Wijanarko, suami Dwi Winarti, bimbang ketika istrinya mengatakan ingin sekolah lagi. Dia berharap agar istrinya tetap di rumah. Toh, istrinya sudah bisa menulis dan membaca saat belajar di SMP.

Anteng mengaku tak ingin kebablasan. Baginya, tujuan sekolah hanya untuk membaca dan menulis. Jika sudah tercapai, sekolah menjadi pilihan kedua. "Biar di rumah saja," kata Anteng.

Dalam tradisi perkawinan Samin, tanggung jawab atas si gadis telah berpindah setelah menikah, dari orangtua ke lelaki. "Kalau mau sekolah lagi monggo, tetapi harus izin kepala keluarga. Orangtua beralih tugas menjadi maringi pitedah," ujar Budi.

Namun, jika terjadi perceraian, masing-masing kembali ke orangtuanya.

"Anak haram" dan administrasi negara
Persoalan pernikahan "dini" warga Samin tidak lepas dari permasalahan pengakuan negara. Anak-anak Samin dianggap "anak haram" dari ibu yang tidak bersuami. Anik Safitri salah satunya. Akta kelahirannya jelas ditulis "bin Tianah" dari pasangan di luar kawin. Padahal, Budi menikahi Tianah semenjak tahun 1996.

Menurut Budi, hanya Anik yang terlahir dengan hanya akta bin ibu. Sarah dan Dwi, dua anaknya lain, diakui negara dari perkawinannya dengan istrinya itu. Bahkan, sulitnya proses administrasi memaksanya merelakan kesempatan karier, juga untuk permodalan.

"Anakku bukan anak haram. Saya juga di KK dianggap sebagai anggota keluarga, bukan kepala keluarga. Konsekuensinya, daftar PNS enggak bisa, pinjam permodalan di bank juga tidak bisa," kata Budi lagi.

Urusan administrasi memang jadi ganjalan. Ajaran Samin yang diyakininya tidak diakomodasi oleh negara. Mereka pun sangat berharap agar negara bisa mengakui keberadaan Samin sebagai "Agama Adam" dalam kartu tanda penduduk.

"Kalau ditulis 'Agama Adam', akan saya catatkan. Kalau ditulis kepercayaan atau (-), bukan 'Agama Adam', sampai kapan pun saya tidak mau catatkan," kata Budi lagi.

Secara umum, jumlah kaum Samin di Kudus tercatat dalam 85 kartu keluarga atau terdiri dari sekitar 250 orang, yang terbagi di Desa Larik Rejo (16 kepala keluarga atau KK) dan Bowoh (8 KK). Sisanya di Karangrowo.

Ajaran Samin saat ini masih diteruskan secara lisan. Belum ada pembukuan ajaran secara resmi yang ditulis. "Kalau ada buku Samin, itu hanya kulitnya, buat pengenalan. Dalamnya masih belum karena masih rahasia orang Samin sendiri," ujar tokoh Samin Kudus ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com