Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kota Pagar Alam: Atung Bungsu Pembuka Pintu...

Kompas.com - 15/06/2015, 15:00 WIB


Oleh Irene Sarwindaningrum

Kota Pagar Alam menyambut dengan bentang alam nan indah, tetapi juga menantang. Bukit berdinding batu, hamparan kebun teh, hingga situs megalitikum membingkai kota di Sumatera Selatan itu. Setelah sekian lama bisa diakses melalui jalur darat saja, kota berhawa sejuk di lembah Gunung Dempo itu makin terbuka dengan beroperasinya Bandara Atung Bungsu.

Kota Pagar Alam terletak sekitar 298 kilometer (km) arah barat daya dari ibu kota Sumsel, Palembang. Dari jalur darat, tebing batu setinggi belasan meter menandai pintu masuk dari jurang Sungai Lematang di perbatasan Kabupaten Lahat. Tebing batu itu berjajar beberapa kilometer, berliku antara ngarai dan jurang menuju pusat kota.

Alam adalah anugerah, sekaligus tantangan bagi warga kota yang mayoritas bekerja sebagai petani sayur, padi, dan kopi serta pemetik teh itu. Salah satunya, adalah kesulitan membangun infrastruktur transportasi baru, karena tantangan bentang alamnya.

Dari jalur udara pun, deretan Bukit Barisan membuat pilot asal Perancis, Tanguy Ribiollet, misalnya, harus memutar pesawatnya sebelum mendarat di Bandara Atung Bungsu, beberapa saat lalu. Pesawat milik Maskapai Susi Air jenis Grand Caravan yang hanya berkapasitas 12 orang itu melayani jalur pergi -pulang antara Bengkulu, Pagar Alam, dan Palembang.

Siang itu, pesawat dari Palembang terisi penuh. Penumpang menghambur keluar begitu pintu pesawat dibuka. "Jalur Pagar Alam ke Palembang dan sebaliknya sangat diminati. Pesawat hampir selalu penuh, tetapi jalur ke Bengkulu kurang," kata Kepala Dinas Perhubungan Kota Pagar Alam Paber Napitupulu.

Warga Pagar Alam, Asnadi (38), mengatakan, Bandara Atung Bungsu sangat membantu warga kota itu. Lewat jalur darat, jarak Pagar Alam ke Palembang bisa ditempuh dalam 8 jam atau lebih, tergantung dari kepadatan lalu lintasnya. "Naik pesawat kurang dari satu jam, mungkin hanya 30 menit," katanya. Asnadi beberapa kali menempuh perjalanan Pagar Alam -Palembang dan sebaliknnya.

Bandara Atung Bungsu mulai beroperasi tahun 2013. Penerbangan sempat terhenti sekitar dua bulan pada pergantian tahun 2014-2105. Sejak Februari 2015, pesawat milik PT ASI Pujiastuti Aviation kembali melayani rute Bengkulu, Pagar Alam, dan Palembang. Pada pekan genap, penerbangan itu melayani penerbangan pada hari Rabu dan Jumat. Pada pekan ganjil, satu jadwal penerbangan ditambahkan, yaitu pada Sabtu.

Tarifnya pun terjangkau, yaitu Rp 350.000 per orang. Harga tiket itu adalah hasil subsidi dari harga normal Rp 700.000 per orang yang diberikan pemerintah pusat melalui Kementerian Perhubungan dan Pemerintah Provinsi Sumsel.

Sebagai bandara baru, kekurangan masih terlihat di sana-sini. Fasilitas masih sangat minim. Belum ada tempat makan atau transportasi umum yang melayani jalur bandara ke pusat kota. Padahal, jarak bandara ke pusat kota tak kurang dari 25 km, melintasi kawasan yang masih sepi dari permukiman. Penumpang harus mengandalkan jemputan untuk meninggalkan bandara itu.

Kepala Unit Pelaksana Teknis Bandara Atung Bungsu Joko Purnomo mengatakan, bandara itu masih membutuhkan tambahan alat pemantau cuaca. Peranti ini penting, karena cuaca Pagar Alam dapat berubah sewaktu-waktu. "Kami juga masih akan membangun beberapa fasilitas lain," katanya.

Wisata pertanian

Wali Kota Pagar Alam Ida Fitriati mengatakan, dengan bentang alam yang begitu sulit untuk menambah transportasi darat, keberadaan bandara di Pagar Alam sangat vital. Kemudahan akses transportasi menjadi salah satu faktor utama bagi masuknya investasi. Keberadaan bandara juga bertujuan untuk mendongkrak pariwisata.

Kota dengan mayoritas penduduk yang bergelut di bidang pertanian itu memang menjadikan pariwisata pertanian (agro tourism) sebagai arah pengembangan perekonomian rakyat. "Selama ribuan tahun, Pagar Alam dihuni oleh masyarakat petani. Saat ini kami tengah berusaha menumbuhkan kultur pariwisata itu," ujarnya.

Pemerintah Kota Pagar Alam merintis pembangunan bandara dengan luas lahan 190 hektar itu sejak tahun 2003. Pembangunan berlangsung dari tahun 2008 dan selesai tahun 2013.

Pembangunan bandara pun menemui sejumlah tantangan, salah satunya mencari lokasi yang datar, karena hampir seluruh Pagar Alam berbukit-bukit. Satu-satunya lahan yang memadai berada di Kecamatan Atung Bungsu di perbatasan dengan Kabupaten Lahat, yang jauh dari pusat kota. Sayangnya, pembangunan ini harus ternoda dugaan korupsi pada pembuatan analisis dampak lingkungan (amdal) tahun 2007.

Dengan biaya penerbangan yang masih disubsidi pemerintah pusat dan provinsi, biaya operasional bandara ditanggung Pemkot Pagar Alam. Saat ini, bandara itu tak hanya dimanfaatkan untuk Pagar Alam, tetapi juga kabupaten di sekitarnya, seperti Lahat dan Empatlawang.

Selama ini, terbatasnya akses membuat kunjungan wisata Pagar Alam masih rendah. Tahun 2012, baru tercatat 202.000 kunjungan ke sana, meningkat menjadi 225.000 orang tahun 2013 dan sekitar 250.000 orang pada 2014. Padahal, kota berhawa sejuk yang sekitar 60 persennya merupakan kawasan hutan lindung itu mempunyai potensi yang begitu besar untuk menjadi lokasi wisata unggulan. Bentang alamnya yang berlatar Gunung Dempo sangat berpotensi untuk wisata berbasis alam dan pertanian, mulai dari mendaki gunung, trekking, hingga sekadar jalan-jalan di kebun teh. Pagar Alam juga mempunyai kekayaan budaya yang luar biasa.

Situs megalitikum bisa dijangkau dengan mudah dari pusat kota. Kerajinan akar pohon teh, jenis tarian, hingga beragam produk kopi unggulan pun menambah pesona kota dengan jumlah penduduk lebih kurang 157.000 orang berdasar jumlah kartu tanda penduduk (KTP) elektronik itu.

Lestarikan alam

Ida mengatakan, menghidupkan pariwisata juga mempunyai tujuan yang lebih besar daripada sekadar materi, yaitu melestarikan alam Pagar Alam yang sebagian besar adalah hutan lindung. "Kalau hanya terus-terusan mengandalkan pertanian, dikhawatirkan akan mengancam kelestarian alam. Kebutuhan lahan akan terus meningkat dengan bertambahnya penduduk," katanya lagi.

Oleh sebab itu, generasi muda menjadi sasaran untuk pelaku wisata Pagar Alam. Ida mengakui, tak mudah mengubah pola pikir masyarakat dari kultur petani menjadi kultur wisata. Namun hal ini terus diupayakan. Salah satunya melalui pendirian sekolah kejuruan yang berkaitan dengan akomodasi wisata dan tata boga.

Untuk menyediakan kebutuhan hotel yang memadai, Pemkot Pagar Alam juga membangun hotel dan vila tepat di tepi hamparan teh di hadapan Gunung Dempo. Lokasi ini menyajikan pemandangan yang demikian memesona.

Upaya menambah rute penerbangan Pagar Alam ke Jakarta pergi-pulang terus dilakukan pula. Diharapkan, tahun 2015 rute itu terwujud, sehingga Pagar Alam yang menjadi daerah otonom pada 21 Juni 2001 kini semarak.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Juni 2015, di halaman 22 dengan judul "Atung Bungsu Pembuka Pintu...".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com