Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasiani, Wanita Penyandang Disabilitas yang Hidup dari Lapak Tambal Ban

Kompas.com - 13/04/2015, 09:53 WIB
Kontributor Kediri, M Agus Fauzul Hakim

Penulis

KEDIRI, KOMPAS.com — Berbekal alat cukit sederhana terbuat dari besi, Kasiani terlihat cekatan mencopot ban. Tak lebih dari 10 menit, ban bagian dalam dari sebuah sepeda motor dapat dia keluarkan, lalu ban itu diisinya dengan angin. Begitulah, wanita usia 60 tahun itu mengawali pekerjaannya menambal ban.

Rata-rata, dia menghabiskan waktu sekitar 20 menit untuk merampungkan pekerjaan menambal ban bocor. Atas jasanya itu, Kasiani mendapatkan upah sebesar Rp 7.000 untuk tiap ban yang ditambal.

Begitulah rutinitas Kasiani, ibu rumah tangga yang juga penyandang disabilitas ini. Kedua kaki Kasiani mengalami cacat sejak lahir sehingga tidak memungkinkannya untuk berjalan. Meski demikian, dia tidak mengandalkan kursi roda ataupun tongkat penopang untuk menunjang mobilitasnya.

Sejak sekitar satu setengah tahun lalu, wanita yang tinggal di Jalan Jaksa Agung Suprapto, Kota Kediri, Jawa Timur, ini mengoperasikan bengkel tambal ban di rumahnya. Di rumah yang didapat dari fasilitas Dinas Sosial itu, dia juga berjualan bensin eceran. Profesinya itu dijalankan menggantikan posisi Sugeng (43), suaminya, yang juga penyandang disabilitas dengan cacat bawaan pada kedua kakinya.

Sugeng yang mengoperasikan bengkel sejak tahun 1997 itu kini harus beristirahat karena terserang gejala stroke pada tangan kirinya. "Kalau dulu, saya hanya bantu-bantu bapaknya saja. Sekarang mau gak mau, semuanya yang ngerjakan ya saya. Mulai masak hingga bekerja agar dapur terus ngebul," kata Kasihani, Kamis (9/4/2015) lalu.

Meski demikian, rona ketegaran memancar dari pasangan yang sudah menikah sejak tahun 1996 itu. Keduanya saling mendukung dan saling menguatkan, tak jarang saling bersenda gurau.

Hal ini setidaknya sangat terasa saat Kompas.com bertandang dan menghabiskan beberapa jam di bengkelnya itu. "Lha untuk apa sedih? Hidup harus dijalani. Yang paling penting harus jujur. Kalau jujur, rezeki enggak akan ke mana," kata Sugeng yang duduk di bangku bambu, sambil terkekeh.

Sugeng menuturkan, banyak asam garam telah dia rasakan selama menjalani hidup bersama istrinya itu hingga saat ini dikaruniai anak, Indra (16), baik suka maupun duka. Meski dengan kondisinya itu, mereka menolak meminta belas kasihan dari orang lain. Semuanya dilakukan secara mandiri.

"Kami selalu berusaha untuk tidak mengandalkan orang lain. Semua kami lakukan sendiri," tegas Sugeng.

Kemandiriannya itu setidaknya dibuktikan saat harus membeli bahan tambal ban ataupun bensin untuk dijual kembali. Sugeng mengandalkan sepeda motor yang telah dimodifikasi dengan cara dipasang roda tambahan untuk menunjang aktivitasnya itu.

Selain mengelola bengkel kecilnya itu, Sugeng juga merawat ayam untuk sekadar menambah penghasilan. Atas kemandiriannya itu, Sugeng mampu membiayai sekolah Indra mulai dari sekolah tingkat dasar hingga tamat SMP. Meski hanya lulus SMP, Sugeng sudah sangat bersyukur karena semuanya dilakukan dengan segala jerih payahnya sendiri.

Berbagi dengan sesama
Profesinya sebagai tambal ban tentu tidak ada penghasilan yang pasti meskipun jam operasional berlangsung selama 24 jam. Hal itu karena pendapatannya dipengaruhi oleh banyak tidaknya pengguna jasanya yang datang kepadanya. Selain itu, menjamurnya tukang tambal ban juga memengaruhi pendapatannya.

Meski demikian, dia tidak melupakan tanggung jawab sosialnya. Kasiani mengaku kerap memberikan jasanya secara gratis, terutama pada anak-anak sekolah. Dia hanya merasa tidak punya hati untuk menarik ongkos dari anak-anak itu. "Kasihan, uang saku yang untuk makan, jadi habis untuk tambal ban," ujar dia.

Hal yang sama juga dilakukan pada sesama penyandang cacat. Kasiani pantang menarik uang dari sesama penyandang disabilitas yang datang menggunakan jasanya. Hal itu, menurut dia, sebagai cara untuk saling mendukung sebagai sesama penyandang cacat.

"Kalau mereka (sesama penyandang disabilitas) tambal ban, gratis. Kalau beli bensin baru bayar karena untuk bensin saya harus kulakan. Itu perintah suami saya," kata dia.

Luna, salah seorang pengguna jasa tambal ban, mengaku salut dengan perjuangan hidup keluarga Sugeng. Mahasiswa semester enam sebuah perguruan tinggi swasta ini mengatakan, keterbatasan mereka itu tidak lantas membuat patah arang. Kehidupan terus dijalani dengan ketegaran.

"Keterbatasan tidak menjadi halangan buat mereka," kata dia saat ditemui sedang menunggu selesainya tambal ban.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com