Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pasang Surut Pelestarian Rencong Aceh

Kompas.com - 08/02/2015, 13:25 WIB

Dosen sejarah pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) sekaligus Kepala Pusat Penelitian Ilmu Sosial dan Budaya Unsyiah, Husaini Ibrahim, mengatakan, rencong adalah senjata tradisional khas Aceh. Senjata ini menjadi jati diri berupa simbol keyakinan, kewibawaan, dan keberanian masyarakat Aceh.

Rencong dikenal sejak awal masuk Islam ke Aceh antara abad 9-13 Masehi. Pembuatan rencong diilhami dari tulisan basmalah dalam aksara Arab. Untuk itu, rencong menjadi simbol keyakinan masyarakat Aceh yang mayoritas beragama Islam.

Keberadaaan rencong pun menjadi simbol kewibawaan masyarakat Aceh, terutama masa Kesultanan Aceh Darussalam antara abad 14-18 Masehi. Semakin mewah rencong yang digunakan menunjukkan semakin tinggi peran penggunaannya di tengah masyarakat.

Memasuki masa kolonial Belanda maupun Jepang di Aceh, rencong jadi simbol keberanian masyarakat Aceh dalam menghadapi ataupun melawan penjajah. Saat itu, semua masyarakat Aceh, terutama laki-laki menyematkan rencong dipinggangnya. ”Karena peran yang penting ketika itu, rencong dibuat hampir di seluruh Aceh,” ujarnya.

Namun, Husaini menerangkan, peran rencong kian berkurang ketika memasuki masa konflik di Aceh, terutama ketika terjadi pemberontakan DI/TII di Aceh pada 1950-an. Saat itu, masyarakat Aceh dilarang membawa rencong. Akibatnya, permintaan rencong berkurang. Hal ini memicu kian berkurangnya perajin rencong hingga tersisa di kawasan Aceh Besar dan Aceh Utara.

Husaini menambahkan, paling tidak rencong mulai dilirik lagi pasca tsunami 2004 atau perundingan damai antara Gerakan Aceh Merdeka dan Indonesia pada 2005. Rencong marak dibuat lagi menjadi cendera mata khas Aceh. Adapun di masyarakat, rencong digunakan untuk perlengkapan pakaian pesta pernikahan dan tari seudati.

Namun kondisi itu sangat riskan bagi keberadaan rencong. Apalagi rencong sebagai cendera mata hanya dicari oleh wisatawan. Di sisi lain, banyak wisatawan yang enggan membeli rencong karena takut tidak lolos di bandara. Kondisi ini dibenarkan oleh para pedagang rencong. ”Akibatnya, penjualan rencong cenderung rendah, yakni hanya 10-20 unit per bulan. Jumlah itu sangat kecil dibandingkan penjualan tas bordir khas Aceh sekitar 50 unit dan kaus khas Aceh mencapai 100 unit per bulan,” ujar Lina (22), penjaga toko cendera mata khas Aceh di Peunoayong, Banda Aceh.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh Reza Fahlevi menuturkan, pihaknya sadar keberadaan rencong kian terancam. Apalagi minat generasi muda jadi perajin rencong sangat minim. ”Untuk itu, kami dan sejumlah instansi pemerintah terus melakukan sosialisasi dan mempromosikan rencong, serta berupaya menjaga pasarnya,” tuturnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Sumber KOMPAS
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com