Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pasang Surut Pelestarian Rencong Aceh

Kompas.com - 08/02/2015, 13:25 WIB

KOMPAS.com - Di sebuah bangunan berukuran 3 x 2 meter, tangan Faisal (24) tampak cekatan menggunakan kikir untuk menghaluskan sebuah besi kuningan sepanjang 30 sentimeter. Tatap matanya fokus merapikan setiap sisi logam itu hingga halus dan terbentuk menjadi senjata bernama rencong, sebuah senjata khas Aceh. Faisal adalah perajin rencong di Desa Baet Lampuot, Kecamatan Sibreh, Kabupaten Aceh Besar.

Baet Lampuot merupakan salah satu dari tiga desa yang menjadi pusat pembuatan rencong di Aceh Besar, selain Desa Baet Masjid Mesjid dan Desa Baet Meusagoe. Faisal menjadi perajin rencong mengikuti orangtuanya. Apalagi desa itu telah menjadi pusat pembuat rencong di Aceh jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. ”Saya membuat rencong mengikuti ayah saya, sedangkan ayah saya membuat rencong mengikuti kakek saya. Adapun kakek saya membuat rencong mengikuti buyut saya. Kami sudah turun-temurun menjadi pembuat rencong,” ujarnya ketika ditemui Kompas, Jumat (6/2).

Mayoritas perajin membuat rencong dengan cara tradisional. Proses pembuatan rencong dimulai dari melumerkan bahan, yakni besi kuningan ataupun besi putih. Kemudian, bahan itu dicetak menjadi mata rencong. Perajin bisa menghasilkan 15-20 mata rencong per kilogram bahan. Proses ini bisa memakan waktu 18-20 jam per hari.

Tahap selanjutnya, Faisal menerangkan, perajin harus membersihkan ataupun merapikan sisi mata rencong menjadi lebih halus. Setelah rencong halus, perajin membuat gagang dan sarung yang umumnya terbuat dari tanduk kerbau. Proses ini memakan waktu sekitar 10 jam per hari ”Tahapan ini butuh ketelitian sehingga perajin hanya bisa membuat rencong siap jual 1-2 unit per hari,” ucapnya.

Para perajin mengeluarkan modal membeli besi kuningan sekitar Rp 40.000-Rp 50.000 per kilogram ataupun besi putih sekitar Rp 20.000-Rp 25.000 per kilogram, sedangkan membeli bahan tanduk kerbau sekitar Rp 30.000 per pasang. ”Modal ini cukup tinggi bagi perajin. Apalagi perajin hanya mendapat keuntungan menjual rencong sekitar Rp 10.000-20.000 per unit,” kata Faisal.

Proses penjualan rencong biasanya disalurkan langsung perajin ke toko cendera mata di Banda Aceh ataupun diambil langsung oleh agen cendera mata ke desa itu. Kendati demikian, Faisal mengungkapkan, tidak semua rencong bisa laku terjual dalam sehari. Kadang rencong tidak laku karena masih banyak stok di toko cendera mata. Adapula toko ataupun agen cendera mata yang mengambil rencong, tetapi bayarnya nanti ketika rencong sudah laku terjual.

”Rencong banyak terjual hanya ketika ada acara besar di Aceh, seperti menjelang peringatan tsunami pada akhir tahun. Selebihnya, rencong sulit terjual karena wisatawan, terutama yang menggunakan pesawat terbang, takut membawanya ke bandara,” tuturnya.

Kelestarian terancam

Kepala Mukim Sibreh, Abubakar (51), mengatakan, pihaknya berupaya untuk mempertahankan tradisi rencong di tiga desa itu. Namun, besarnya modal dan tidak pastinya, keberlanjutan perajin rencong kian terancam. ”Bahkan, jumlah perajin rencong pun terus menyusut dari tahun ke tahun,” katanya.

Abubakar menggambarkan, jumlah tempat pembuatan rencong ada 68 dapur di tiga desa pada sekitar 10 tahun lalu atau pasca tsunami 2004. Ketika itu, para pembuat rencong mendapatkan bantuan modal dari Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh-Nias.

”Bantuan itu membuat para perajin semangat. Apalagi permintaan terhadap rencong tinggi, terutama dari para sukarelawan ataupun staf NGO yang membantu proses rekonstruksi dan rehabiliasi Aceh pasca tsunami,” ucapnya.

Pada perkembangannya, Abubakar menyampaikan, tempat pembuatan rencong berkurang menjadi hanya 34 dapur di tiga desa itu hingga saat ini. Jumlah perajinnya pun dari sekitar 200 orang 10 tahun lalu menjadi sekitar 100 orang. ”Kondisi itu akibat terus naiknya biaya modal dan tidak pastinya pasar. Apalagi perhatian pemerintah tidak ada sama sekali,” katanya.

Kini, Abubakar menuturkan, para perajin rencong banyak beralih profesi menjadi pekerja bangunan ataupun penjaga warung di Banda Aceh. Adapun perajin rencong yang tersisa sebagian besar berusia lebih dari 50 tahun.

Sejumlah perajin menilai, jika tidak ada perhatian yang lebih baik dari pemerintah, perajin rencong akan terus berkurang. Sangat boleh jadi 10 tahun lagi sudah tidak ada lagi rencong di Aceh, sebab tidak ada orang yang mau membuatnya,” ujar Mahdi Ismail (45), perajin rencong di Desa Baet Lampuot berapi-api.

Perubahan fungsi

Halaman:
Sumber KOMPAS
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com