Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Minimnya Sosialisasi Autis di Banda Aceh

Kompas.com - 05/02/2015, 15:26 WIB
Kontributor Banda Aceh, Daspriani Y Zamzami

Penulis

BANDA ACEH, KOMPAS.com – Gestur tubuhnya tak terlihat seperti perempuan seusianya. Kerudung putih yang menutupi bagian kepalanya sesekali terlihat melorot ke depan. Tanpa merasa kesulitan, dia pun meluruskan kembali kerudungnya. Sesekali ia mengarahkan senyum ke arah berlawanan, namun lebih sering merunduk, seolah berpikir keras ingin melakukan dan memahami sesuatu.

Perempuan itu bernama Fuwaizah, usianya 18 tahun. Nama kecil kebanggannya adalah Wawa. Wawa memang tumbuh dan berkembang berbeda dengan gadis remaja kebanyakan. Wawa adalah remaja dengan berkebutuhan khusus. Dia menyandang autis. Sudah enam bulan terakhir, Wawa mengikuti terapi autis di sebuah Sekolah My Hope Special Needs Centre, Yayasan Amanah Kamoe Mee, yang terletak di bilangan Lampriet Banda Aceh.

Jumratul Aini, sang terapis di My Hope mengatakan, Wawa menyandang autisme sedang yang gejalanya ditunjukkan dengan respons kuat pada rangsangan atau stimulus sensoris.

“Misalnya, jika kita memaksa memaksakan kepalanya untuk menatap mata kita, maka ia akan menatap mata kita,” jelas Jumratul Aini.

Dalam proses terapisnya, Wawa pun sudah menunjukkan perkembangan yang lebih baik saat ia baru saja masuk dan bergabung di My Hope. Di My Hope, Wawa tak sendiri, ada 30 anak dengan autis dari ringan hingga sedang ditangani oleh para terapis My Hope. Program terapis yang diberikan pun berbeda-beda, tergantung berat ringan autis yang disandang sang anak.

Pimpinan Yayasan Amanah Kamoe Mee, Poppy Amelia, mengatakan My Hope sendiri menggunakan metode Applied Behavior Analysis (ABA) untuk anak-anak penyandang autis yang mengikuti terapis di sekolah ini. Metode ini sendiri, sebut Poppy, merupakan metode terbaik di dunia saat ini yang dipopulerkan Prof Ivaar Lovaas, sebuah terapi yang didasarkan pada pendekatan behavioristik untuk membentuk tingkah laku yang dapat diterima dan menghilangkan tingkah laku bermasalah.

“Selain itu, metode ini juga kita kombinasikan dengan berbagai pengalaman di lapangan langsung yang kita temukan, dan kuncinya memang adalah sebuah keikhlasan, sehingga hasil-hasil baik kita capai,” jelas Poppy saat memperkenalkan metode penanganan autis di My Hope, Rabu (4/2/2015) kemarin.

Dengan metode campuran itu, tambah Poppy, anak-anak dengan kasus Autis Spektrum Disorder (ASD), seperti Wawa, akan mengalami peningkatan kontak mata yang lebih konsisten, mampu menghilangkan perilaku tantrum, mulai mampu bersosialisasi dan ada peningkatan dalam hal bahasa.

Minim sosialisasi

Diakui Poppy, saat ini, penyandang autis masih belum mendapat perhatian besar dari berbagai pihak seperti Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan. Bahkan, sosialisasi terhadap warga soal autis pun sangat minim.

“Padahal kita tahu, kondisi Aceh yang pernah sangat bergejolak seperti konflik dan bencana alam, bisa menjadi faktor pemicu anak-anak lahir dengan kondisi autis, karena sang ibu yang mengalami depresi atau tekanan batin dalam skala tertentu,” jelas Poppy.

Selain itu, keterbukaan keluarga pada anak yang menderita autis juga masih sangat rendah. Sebagian besar keluarga lebih menutup diri atas kondisi anak yang menyandang autis daripada harus berkonsultasi dengan psikolog atau dokter.

"Mereka menjadi rendah diri akan stigma yang sering disampaikan oleh masyarakat lainnya. Jadi, kondisi ini juga harus terus ditangani agar masyarkat bisa lebih terbuka,” kata perempuan yang kini juga beraktivitas sebagai motivator ini.

Cut Rosmiati (47), ibu dengan anak penyandang anak autis juga mengaku minimnya fasilitas penanganan autis di Banda Aceh.

“Bahkan saya juga pernah mendapat stigma dari masyarkat bahwa saya tidak bisa mendidik anak, karena anaknya terlalu nakal,” ujarnya.

Padahal, menurut Cut, saat ini banyak keluarga di Banda Aceh yang memilik anak penderita autis namun masih belum bersedia untuk terbuka, sehingga ini menyulitkan bagi orangtua yang anaknya menyandang autis untuk bisa berkomunikasi demi menjalin kekuatan bersama dalam menagani dan menyelesaikan problem anak penyandang autis.

“Kami juga berharap pemerintah bisa memberi perhatian khusus juga untuk anak-anak yang berkebutuhan khusus seperti ini, sehingga kita bisa lebih solid untuk saling menguatkan,” harap Cut Rosmiati.

 
 
 
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com