Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dosen yang Unggah Foto Berburu Yaki Dilapor ke Polisi

Kompas.com - 24/12/2014, 12:45 WIB
Kontributor Manado, Ronny Adolof Buol

Penulis


MANADO, KOMPAS.com - Setelah sempat menghebohkan dan mengundang protes pengguna jejaring sosial, akhirnya Devy Sondakh, seorang dosen di Universitas Sam Ratulangi dilaporkan ke polisi, Rabu (24/12/2014). Devy membuat heboh gara-gara mengunggah foto hasil buruan satwa liar yang dilindungi di halaman akun Facebook miliknya.

Kepala Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara, Sudiyono, kepada Kompas.com mengatakan bahwa pihaknya baru saja selesai melaporkan Devy di Polda Sulawesi Utara.

"Atas laporan masyarakat, kami kemudian meneruskan kasus ini dengan melaporkannya ke polisi," kata Sudiyono.

Menurut dia, hal ini tidak bisa dibiarkan dan harus ditindaklanjuti. Dia juga menjelaskan bahwa kasus ini sudah dilaporkan ke Direktur Penyidikan dan Pengamanan Hutan Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan di Jakarta.

"Saya sekarang berada di Jakarta dan sudah melaporkan ini ke pimpinan juga, agar kasus ini cepat diproses," jelas Sudiyono.

Masyakarat Sulawesi Utara berharap, kasus ini bisa diproses hingga ke pengadilan, agar bisa menjadi pelajaran bagi kasus serupa di kemudian hari.

Sebelumnya, Devy yang mengaku sebagai pakar hukum itu mengunggah foto dirinya yang bertelanjang dada sambil memegang dua ekor Yaki (macaca nigra) atau monyet hitam Sulawesi yang diakuinya merupakan hasil buruan.

"Hasil berburu kemarin, para kembaranku, natalan bersama..." tulis Devy pada keterangan foto tersebut.

Selain Yaki, dua ekor Kus-Kus Sulawesi yang terancam punah dan dilindungi terlihat tergeletak di lantai tepat di bawah tiga senapan angin.

Foto yang disertai dengan berbagai argumen Devy itu mendapat kecaman dari ribuan pengguna Facebook, khususnya yang berdomisili di Sulawesi Utara. Dalam argumennya, Devy menghubungkan berbagai faktor seperti tradisi, ekonomi dan hama bagi petani sebagai alasannya berburu satwa endemik dan dilindungi itu.

"Kalau ada UU Perlindungan terhadap satwa monyet yang habitatnya jutaan, dan merusak pertanian warga, itu artinya UU itu salah dan harus dicabut,” tulis Devy dalam komentarnya.

Kepala Laboratorium Konservasi Biodiversitas, Universitas Sam Ratulangi, John Tasirin menganggap argumentasi yang diajukan Deby tidak bisa dibenarkan. Klaim memakan satwa liar, termasuk Yaki, bagian dari tradisi sudah tidak bisa dipertahankan lagi.

"Konsumsi protein dari satwa hutan bisa digantikan dengan ternak. Satwa-satwa itu sudah dilindungi UU seharusnya ada kekuatan hukum," ujar John.

UU No 5 Tahun 1990 Sementara itu Program Manager Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki, Simon Garth berharap Devy bisa dijerat dengan UU No 5 tahun 1990 tentang Konservasi dan Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

"Saya mendengar Direktur Reskrim Polda Sulut dan Kejaksaan Manado mengatakan dalam konferensi penegakan hukum pada bulan lalu (27/11/2014), bahwa hal seperti ini bisa dijerat dengan Undang-undang itu," kata Simon.

Dalam Undang-udang tersebut, khususnya pada Pasal 21 ayat 2, melarang setiap orang menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup. Larangan itu disertai dengan ancaman pidana penjara 5 tahun dan denda Rp 100 juta sebagaimana diatur pada Pasal 40.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com