Hardika melanjutkan, Pospamtas Desa Betaoh bertanggung jawab atas 112 patok batas. Jarak terjauhnya 12 kilometer dari pos jika ditarik garis lurus. Namun, waktu tempuh ke patok bisa mencapai tiga hari dengan melawan arus sungai ke hulu lalu berlanjut dengan menerabas hutan rimba Malinau.
Namun, selama 4 bulan berada di sana, Hardika dan pasukannya belum sekali pun menggelar operasi ke patok perbatasan. "Kami tidak punya biaya, Mas. Sekali patroli itu butuh biaya yang tidak sedikit. Kami dapat uang dari mana?" ujar Hardika.
Hardika mengakui tugasnya di sini terkait dengan kedaulatan negara. Tak pernah ada operasi patok batas tentu saja tak sejalan dengan tugas tersebut. Terlebih lagi, dalam laporan serah terima dengan pasukan Pospamtas sebelumnya, pada 2013 ada satu patok perbatasan Indonesia-Malaysia yang hilang, dilaporkan karena dirusak ekskavator berbendera Malaysia.
"Sejujurnya ya kami gelisah. Tapi, kami harus bagaimana? Situasi kami serba kesulitan," ujar Hardika. Menurut dia, atasannya mengatakan patroli perbatasan akan digelar pada akhir Desember 2014 atau Januari 2015. Namun, Hardika mengatakan sejujurnya dia belum dapat membayangkan dari mana biaya untuk patroli itu.
Indonesia di dadaku, Malaysia di perutku
Dengan kondisi keuangan yang "tiris", Hardika dan pasukannya praktis hanya menjalankan fungsi sosialisasi nilai kebangsaan kepada masyarakat. Di antara prajurit TNI ini ada yang mengajar di sekolah dasar atau pendidikan anak usia dini di Desa Betaoh. Pernah pula pasukan ini menggelar pengobatan massal bagi warga.
"Intinya, kami menjaga nasionalisme warga di sini agar tidak tertarik ke Malaysia," ujar Hardika. Menurut dia, "tetangga" memang tak vulgar menarik masyarakat berpindah. Namun, kemudahan di negeri jiran tersebut membuat sebagian warga tergoda. Pendidikan dijamin, harga barang murah, dan persediaannya lengkap.
"Istilahnya, Indonesia tetap di dadaku, tapi Malaysia di perutku," ujar Hardika. Namun, pada tiga tahun terakhir situasi berubah. Program Gerakan Desa Membangun (Gerdema) ala Bupati Malinau, Yansen Tipa Padan, telah menggelontorkan dana ratusan juta rupiah bagi warga desa untuk membangun infrastruktur.
Pembangunan yang sekarang mulai dinikmati warga desa ini membuat mereka tak lagi terlalu terpukau dengan negara tetangga. Pembukaan infrastruktur desa, lanjut Hardika, malah membuat mereka yang telanjur pindah ke Malaysia menyesal.
Semua cerita soal perbatasan itu, aku Hardika, dia dapatkan dari kisah mulut ke mulut setiap kali bertemu dengan masyarakat Desa Betaoh.
Kisah para penjaga perbatasan ini belum tuntas. Cara-cara mereka bertahan hidup tak selalu bisa ditemukan di tempat lain. Tunggu kisahnya di tulisan berikutnya...
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.