Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Menyelami" Rupa Pos Perbatasan Indonesia-Malaysia

Kompas.com - 18/12/2014, 13:15 WIB
Fabian Januarius Kuwado

Penulis

MALINAU, KOMPAS.com — Sebuah jalan setapak membentang mulai dari tepi Desa Long Betaoh, Kecamatan Kayan Hulu, di pedalaman Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara. "Berpagar" semak, sebuah jalan setapak mengarah ke Sungai Pengian. Tujuan perjalanan kami, Kamis (4/12/2014) siang itu, adalah bangunan di seberang sungai ini.

Namun, tak ada jembatan di antara kami—reporter Kompas.com, Fabian Januarius Kuwado, bersama fotografer Fikria Hidayat dan Kristianto Purnomo—dengan pos itu. Beruntung, ada Robert, pemuda setempat, yang membantu kami memanggilkan sang empunya pos dan meminta penjemputan.

"Tunggu dulu, sebentar," terdengar teriakan dari arah pos. Sosok yang berteriak tidak terlihat. Tak berapa lama, muncul lelaki tegap berambut cepak dan berkaus loreng. Setengah berlari dari pos ke bibir sungai, dia lalu mengambil sampan dan mengayuhnya ke arah kami. Dua menit saja, lelaki itu sudah tiba di depan kami.

"Ayo, Mas, silakan naik," ujar pria yang belakangan mengenalkan diri sebagai Praka TNI Syaiful Lamunte itu, dengan sunggingan senyum. Ramah. Sesampai di seberang, kami disambut sebuah papan bertuliskan "Selamat Datang di Pos Pengamanan Perbatasan (Pospamtas) Indonesia-Malaysia Desa Long Betaoh".

Rupa pos perbatasan...

Pos ini adalah bangunan rumah panggung berketinggian satu meter dari atas tanah. Bangunan tersebut merupakan hibah masyarakat adat setempat. Dilihat dari udara, bangunan Pospamtas mirip lambang Palang Merah Indonesia (PMI).

Seluruh bangunan terbuat dari kayu. Tak semuanya masih bagus. Secara kasatmata, beberapa bagian bangunan keropos dimakan rayap. Sejumlah kata penyemangat tertulis di dinding bangunan, seperti, "Setia Tangguh Pantang Menyerah", "NKRI Harga Mati", dan "Disiplin Adalah Saya".

Menghadap ke sungai dengan lapangan kecil sebagai pemisah, bendera Merah Putih berkibar di atas tiang di lapangan itu. Di belakang bangunan, ada sepetak kebun sayur untuk kebutuhan hidup para penghuni pos. Tak ada ruang sel, gudang senjata, apalagi peralatan olahraga untuk menjaga kebugaran di sini. Di sekitar pos hanya ada hutan rimba Malinau.

"Di sini ya beginilah keadaannya. Anggap saja seperti rumah sendiri, ya," ujar Syaiful saat mempersilakan kami masuk. Di dalam pos, perbincangan soal cara para prajurit bertahan hidup di beranda negara ini berlangsung santai dan akrab.

KOMPAS.com/Fabian Januarius Kuwado Fotografer Kompas.com Fikria Hidayat (jaket merah) tengah mengobrol santai dengan prajurit TNI di Pos Pengamanan Perbatasan (Pospamtas) Indonesia-Malaysia di Desa Betaoh, Kecamatan Kayan Hulu, Malinau, Kalimantan Utara, Kamis (4/12/2014).
Bersama Syaiful, ada juga Sertu TNI Hardika Sheila, Kopda TNI Asbar Umasugi, dan Kopral TNI Tri Kusuma. Teh hangat di gelas aluminium kusam suguhan Asbar semakin menghangatkan perbincangan.

Sungai bagi pos ini

Beranjak petang, beberapa prajurit TNI terlihat bertelanjang dada mendekati pos dari tepi sungai. Mereka masuk lewat pintu samping pos, dengan tentengan peralatan mandi di tangan.

"Kami tidak punya kamar mandi di sini. Jadi, mandinya di sungai. Enak, segar," celetuk Hardika menyela perbincangan, seolah menebak isi kepala kami. "Kalau mau mandi, ayo mandi saja sekalian di sungai," Asbar menimpali.

Kami sejenak bertukar pandangan. Boleh.... Jawaban tanpa kata dari sejenak tukar pandang tersebut. Tak sampai lima menit kemudian, kami sudah berbaur dengan para tentara di tepi sungai. Byur! Rasanya sesegar kata Hardika, begitu badan kami berada di pelukan sungai.

Asbar dan Tri ikut mandi bersama kami. Ini adalah sungai selebar 10 meter dengan arus deras. Kata Asbar, sungai ini berkedalaman 6 meter di bagian tengah. Dia lalu bercerita, dulu, seorang prajurit meninggal ketika berenang di bagian tengah itu. Terseret arus.

"Waktu itu, di hulu lagi hujan. Jadi, sungai ini banjir. Anggota kita waktu itu mau pulang ke pos. Entah bagaimana, dia terseret, terbawa arus. Jenazahnya ditemukan di batu itu," ujar Asbar sembari menunjuk batu besar di dekat titik kami menyeberang ke pos, beberapa waktu sebelumnya.

Asbar menuturkan, setiap daerah hulu hujan, permukaan sungai meningkat hingga dua meter dengan arus yang kencang. Jika sudah demikian, tidak ada satu pun prajurit yang berani menyeberangi sungai. Menurut dia, kondisi alam tersebut merupakan salah satu hambatan "rutin" mereka untuk beraktivitas dan berinteraksi dengan warga.

Mendengar cerita Asbar, kami dalam diam memilih berenang di pinggiran. Di sini kami hanya bermain-main dengan air. Adapun Asbar cuek berenang melawan arus di bagian sungai yang dalam.

Banyak hal yang kami serap sepanjang siang hingga petang itu. Sembari menikmati segarnya air sungai, sejumlah topik dalam perbincangan hangat kami di dalam pos menari-nari di kepala saya. Apa saja cerita dari para prajurit yang tetap menjaga keceriaan di tengah tugas dan keterbatasannya ini, tunggu kisah mereka pada tulisan berikutnya dari artikel serial perjalanan ini....

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com