Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jelaga Pantat Wajan Dayak Kenyah di Wajah Kami

Kompas.com - 15/12/2014, 21:03 WIB
Fabian Januarius Kuwado

Penulis

MALINAU, KOMPAS.com - Pagi itu, Selasa (9/12/2014), warga Desa Apau Ping, Bahau Hulu, Malinau, Kalimantan Utara berbaris di tepi jalan setapak hingga dermaga. Mereka, ibu-ibu, bapak-bapak, pemuda, hingga anak sekolah, hendak melepas rombongan Bupati Malinau Yansen Tipa Padan.

Yansen serta  rombongan menyalami satu per satu warga yang berbaris. Semua terlihat seperti seremonial pada umumnya. Sampai, saat acara salaman itu mendekati dermaga. Di sini, para ibu bersalaman sembari menyembunyikan tangan kiri di belakang punggung, tak seperti warga lainnya.

Tibalah Yansen di deretan para ibu yang menyembunyikan tangan di belakang punggung itu. Ketika Yansen mengulurkan tangan untuk bersalaman, ibu pertama dengan tangan kiri di belakang punggung tiba-tiba mengangkat tangan yang disembunyikannya beberapa waktu itu ke muka.

Tak berhenti, tangan sang ibu meluncur ke muka Yansen. "Sreet...", sebuah coretan hitam singgah di wajah Yansen. Sontak, tawa pun pecah di dermaga. Lepas. Para ibu lain yang sebelumnya juga menyembunyikan tangan kirinya menyusul melakukan gerakan dan perbuatan yang sama.

Tak pelak, wajah Yansen pun penuh coretan hitam berjelaga. Anggota rombongan lain yang membuntuti Yansen pun turut mendapatkan coretan di wajah itu.

Yansen ada di desa ini pada 8 Desember 2014 dan 9 Desember 2014 dalam rangkaian Safari Natal 2014 di pedalaman wilayah tugasnya. Kompas.com--reporter Fabian Januarius Kuwado bersama fotografer Fikria Hidayat dan Kristianto Purnomo--ada dalam rombongan yang memulai perjalanan sejak 1 Desember 2014 tersebut.

Tanda cinta

Coretan di wajah itu bukan tanpa makna. Seorang ibu yang berdiri di ujung barisan di dermaga akhirnya buka suara tentang hal tersebut. "Kami mewakili segala yang dirasakan Mas di desa ini, dalam (simbol) kotoran di badan kuali masak. Kami corengkan di wajah sebagai kenangan akan desa kami ini, baik atau buruknya," ujar dia, dengan senyum sumringah.

"Nanti, di suatu tempat, Mas boleh hapus itu corengan. Tandanya, Mas telah melupakan hal tidak menyenangkan di desa ini, tetapi tetap mengingat hal baiknya," lanjut si ibu. Mendengar penjelasannya, saya pun melebarkan senyuman. Dengan jari berjelaga sang ibu di pipi saya, kami berfoto bersama. Cheesee...!

Belakangan, saya baru mengetahui bahwa tradisi mencoreng wajah tamu desa itu dengan kotoran di pantat kuali masak merupakan tradisi turun-temurun sejak nenek moyang mereka.

Desa Apau Ping merupakan satu dari tiga desa wisata di Kabupaten Malinau. Dua desa lainnya adalah Desa Long Alango dan Desa Setulang di Kecamatan Malinau Selatan Hilir. Dari tiga desa itu, hanya Desa Apau Ping dan Long Alango yang masuk ke dalam kawasan 1,6 juta hektare Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM), paru-paru dunia di garis kathulistiwa.

Letak desa ini berada di ketinggian 450 meter di atas permukaan laut itu berada jauh di pedalaman. Ia adalah desa terakhir di hulu Sungai Bahau, sebelum memasuki hutan rimba tropis yang sekaligus menjadi perbatasan antara Indonesia dan Malaysia.

Banteng dan kuburan batu

Untuk menuju desa ini, orang harus menumpang ketinting selama dua jam dari Desa Long Alango dan melanjutkan perjalanan dengan pesawat perintis berkapasitas delapan orang.

Meski jauh di pedalaman, desa ini dihuni oleh sekitar 8.000 orang. Dari jumlah tersebut, 95 persen merupakan anggota masyarakat adat Dayak Kenyah. Ciri-ciri mereka adalah kulit putih kekuningan, berambut lurus, dan berhidung mancung.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com