Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Dulu, Orang Indonesia Sudah kayak Pencuri..."

Kompas.com - 05/12/2014, 14:43 WIB
Fabian Januarius Kuwado

Penulis

MALINAU, KOMPAS.com — Ketergantungan masyarakat pedalaman Malinau, Kalimantan Utara, terhadap barang-barang asal Malaysia perlahan terkikis. Pembangunan daerah perbatasan Indonesia-Malaysia mulai bergeliat, meski lambat.

"Dulu orang Indonesia sudah kayak pencuri. Kalau Polis Diraja Malaysia jaga perbatasan, kami enggak bisa beli di sana. Begitu mereka enggak ada, baru deh (kami) berbondong-bondong ke sana," tutur Sekretaris Kecamatan Kayan Hulu Franklin, Jumat (5/12/2014), tentang hari-hari ketika semua kebutuhan barang warganya masih mengandalkan pasokan dari Malaysia.

Dulu, kenang Franklin, hampir semua kebutuhan masyarakat Kayan Hulu didapat dari Malaysia, mulai dari beras, gula, makanan ringan, hingga semen. Semua berubah, kata dia, sejak jalan dibangun di desanya.

"(Sampai) akhirnya akses jalan di sini dibangun. Jalan ini bisa tembus ke Kecamatan Kayan Hilir dan Sungai Boh, bisa tembus juga ke Kutai Barat dan Samarinda," ujar Franklin. "(Sejak saat itu), barang-barang Malaysia sudah mulai berkurang."

Bukan jalan mulus

Namun, jangan dibayangkan jalan yang disebut Franklin itu semulus jalan di kota besar--yang berlubang sekalipun—apalagi jalan tol baru. Jalan ini hanya tanah berlapis batu kerikil. Di beberapa ruas, jalan juga menganga rusak.

Lebar jalan yang disebut Franklin dengan awalan "akhirnya" itu pun cuma selebar 6 meter. Namun, bagi masyarakat Kayan Hulu, kata "akhirnya" untuk kehadiran jalan tersebut memang berarti hadirnya urat nadi distribusi barang kebutuhan dari dalam negeri sendiri.

Harga adalah perubahan yang langsung terasa nyata begitu ada jalan yang sampai ke Kayan Hulu. Semen, misalnya, dulu per zak bisa berharga Rp 1,5 juta ketika didatangkan dari Malaysia. Setelah semen bisa didatangkan dari Samarinda, harganya "anjlok", tinggal Rp 350.000 per zak.

Lalu, lanjut Franklin, gula yang berharga Rp 30.000 per kilogram, sekarang turun menjadi Rp 20.000 per kilogram. Memang masih lebih mahal daripada di kota, apalagi di Pulau Jawa, tetapi sudah sangat disyukuri.

Seiring reformasi

Menurut Franklin, kehadiran jalan yang membukakan akses ke jalur distribusi dari negeri sendiri ini baru terjadi seiring era reformasi. Tepatnya, sebut dia, baru dimulai pada 1999 dan berlanjut ketika Yansen Tipa Padan menjadi Bupati Malinau sejak tiga tahun lalu.

Yansen, kata Franklin, "menggeber" pembangunan jalan di wilayahnya, tak terkecuali ke Kayan Hulu. Jaringan telekomunikasi menjadi program berikutnya setelah jalan, demikian pula listrik. Beranda terdepan Indonesia yang menghadap Malaysia di depan perbatasan darat ini mulai bersolek, meski perlahan.

"Persoalan kami itu hanya akses, (yaitu) jalan dan informasi. Titik. Jika jalan dibuka, jaringan telekomunikasi terbuka, kami enggak lagi terisolasi, tertinggal," ujar Franklin.

Andai bisa "bersolek" lebih molek

Tantangan sekarang, menurut Franklin, adalah peningkatan kualitas, lagi-lagi dari jalan. Dia berpendapat, jalan yang masih alakadarnya itu belum dapat menekan harga ke level ideal.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com