Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kembalinya Warga Dayak Kenyah ke Tanah Leluhur

Kompas.com - 04/12/2014, 19:28 WIB
Fabian Januarius Kuwado

Penulis

MALINAU, KOMPAS.com - Puluhan keluarga suku tradisional Dayak Kenyah ini dulu mengungsi alias eksodus dari tanah leluhurnya, pada era 1970-an. Sejak saat itu, ratusan orang ini, berpindah-pindah dari satu desa ke desa lain, dari ujung timur hingga ujung barat Borneo.

Puluhan orang ini, memutuskan kembali ke tanah leluhur. Mereka kembali menempati lahan di Dusun Tebuan, Kecamatan Sungai Boh, Malinau, Kalimantan Utara. Sebuah upacara pun digelar sebagai penanda, Rabu (3/12/2014).

"Dengan ini saya menerima masyarakat untuk kembali ke sini. Saya resmikan lokasi ini dengan nama Dusun Tebuan," ujar Bupati Malinau, Yansen Tipa Padan, Rabu (3/12/2014), saat memimpin upacara penerimaan kembali warga Suku Dayak Kenyah tersebut.

Pesta besar digelar warga yang pulang ke tanah leluhurnya ini. Tenda besar dipasang. Aneka makanan, dari ikan bakar, sayur blusut, jamur tumis, hingga babi panggang, tersaji di pesta ini.

Yansen mengatakan bahwa seharusnya status pemerintahan di sana bernama Desa Tebuan. Namun, lantaran jumlah kepala keluarga yang kembali masih sedikit, maka statusnya pun diturunkan jadi dusun.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, syarat pembentukan sebuah desa baru di Kalimantan Utara, antara lain adalah keberadaan minimal 1.500 warga atau 300 keluarga.

Dalam kesempatan itu, Yansen pun meminta warga untuk mulai membentuk struktur pemerintahan di dusun ini, setidaknya memilih kepala dusun dan sekretaris. Struktur ini diperlukan untuk mengurus administrasi warga seperti kartu tanda penduduk dan kartu keluarga.

Rapi dan bersih

Struktur tersebut, lanjut Yansen, juga akan menentukan ke desa apa dusun warga Dayak Kenyah ini akan bernaung. Dia meminta dusun ini bergabung ke pemerintahan desa terdekat.

Selain itu, Yansen meminta pula warga untuk menata kampungnya dengan baik, termasuk tata ruangnya. Harus jelas, kata dia, lokasi untuk permukiman, sekolah, tempat bermain anak, tempat ibadah, atau balai adat.

Tak soal, tegas Yansen, bangunan di dusun ini dibangun memakai material yang sekarang ada dulu. "Walaupun cuma papan balok, yang penting bersih dan sehat. Jadi orang melintas di sini bilang, oh, kampung ini bagus sekali," ujar Yansen.

"Di Eropa sana rumah-rumahnya pun masih pakai kayu. Tapi di sana dicat bagus, bersih, dan rapi. Kita pun demikian, jangan sampai dicap terbelakang dan tertinggal," harap Yansen. Dia mempersilakan pula warga untuk membuka ladang.

Namun, Yansen meminta warga untuk tak menanam sawit. "Tanam karet, kakao, kopi, lada. Ingat, jangan sawit," ujar dia. Menurut Yansen, sawit bukan tanaman yang tepat ditanam di wilayahnya dan tak ramah lingkungan.

Mereka eksodus

Pada 1970-an, warga tradisional Tebuan yang merupakan Suku Dayak Kenyah eksodus ke sejumlah desa di Kalimantan Timur dan Barat. Mereka berpindah untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Ruben (49) adalah salah satunya.

Saat itu, Ruben masih kecil. Dia tidak tahu-menahu soal alasan eksodus itu. Yang dia tahu hanya pindah ke satu tempat yang lebih ramai penduduknya.

Namun, di tanah rantau, perekonomian masyarakat adat kenyah pun rupanya tidak kunjung membaik. "Kami kan tinggal di tanah adat orang. Kami tidak diberikan lahan untuk meladang. Kami dibatasi," ujar dia.

Jika hendak membuka ladang, masyarakat adat Kenyah dimintai sejumlah imbalan oleh masyarakat setempat, yakni beras atau gula. Kondisi tersebut terjadi bertahun-tahun lamanya. Mereka kembali ke tanah leluhurnya di Tebuan.

Ruben sudah kembali ke tanah leluhurnya sejak 2008. Lama kelamaan, banyak warga adat yang kembali ke tanah itu. Dia berharap, dusunnya suatu ketika dapat berkembang menjadi desa, bahkan kota kecamatan, agar program pemerintah dapat dirasakan langsung warga Tebuan.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com