Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nyanyian Sunyi Pesut Mahakam...

Kompas.com - 14/11/2014, 23:47 WIB
Ary Wibowo

Penulis

N J Krom dalam The First Hindu Coin from Java (1968), menuliskan transaksi para pedagang di perairan Sungai Mahakam secara tidak langsung telah menjalin interaksi hubungan agama dan budaya. Hal itu, menurut Krom, terjadi karena beberapa saudagar asing yang melakukan proses dagang, terutama yang berasal dari India, merupakan penyebar agama Hindu dan Budha.

Sungai Mahakam, sang urat nadi ekonomi

Selama berabad-abad lamanya, Sungai Mahakam menjadi urat nadi penting bagi para penghuni tepiannya, hingga kini. Ratusan kapal mulai dari jenis perahu kecil, perahu panjang, kapal barang, kapal penarik kayu, kapal pengangkut alat berat, hingga kapal tongkang batubara, setiap hari rutin beraktivitas di perairan sungai Mahakam. Pun halnya dengan para nelayan yang mencari ikan.

Namun, terdapat masalah yang terselip di antara aktivitas super sibuk itu. Kekayaan peninggalan sejarah Kerajayaan Kutai Martapura di sepanjang Sungai Mahakam, tak lagi berjejak nyata dalam kehidupan nyata saat ini. Peninggalan sejarah kebudayaan terus tergerus, nasib para penduduk lokal pun masih sulit menemukan kata sejahtera dalam hidupnya.

Pada 2014, Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk Kutai Kartanegara —misalnya— mencapai Rp 7,603 triliun (Kompas, edisi 13 November 2014). Namun, Kutai Kartanegara tercatat memiliki 47.100 penduduk miskin pada 2012 dari total penduduk berjumlah 676.464 orang berdasarkan data Kutai Negara menurut Kutai Kartanegara Dalam Angka 2013.

Buku terbitan Badan Pusat Statistik (BPS) itu menyebutkan pula bahwa pendidikan tertinggi dari 64 persen warganya adalah setingkat SMA, dengan 13 persen penduduk tak lulus SD, dan hanya 5 persen yang berpendidikan sarjana. Belum lagi melihat semakin sulitnya masyarakat setempat yang menggantungkan mata pencarian dari hasil Sumber Daya Alam sekitar pesisir Mahakam.

Para perajin anyaman dari Suku Dayak Aoheng, misalnya, sudah bersuara tentang kesulitan mereka mendapatkan bahan baku. Kesulitan itu tidak terlepas dari pembabatan hutan-hutan di beberapa wilayah Kalimantan Timur yang diubah menjadi perkebunan sawit.

Sesilia Tipung (24), salah satu perajin anyaman dari suku Dayak Aoheng, bertutur tentang masyarakat Dayak di kampungnya di Kecamatan Long Bahun, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur, yang semakin sulit mencari bahan baku anyam-anyaman, seperti rotan, pandan hutan, dan bambu.

"Kami akhirnya menanam sendiri rotan, pandan hutan, dan bambu untuk mencukupi kebutuhan bahan baku anyam-anyaman," demikian ungkap Sesilia di Jakarta, Jumat (7/11/2014). "Anyam- anyaman tradisional Dayak nyaris punah karena hampir tidak ada lagi anak muda yang tertarik belajar kerajinan yang rumit ini."

Kesulitan Sesilia bersama beberapa perajin anyaman suku Dayak Aoheng itu menjadi salah satu potret nyata dari peninggalan sejarah di Kalimantan Timur semakin terpinggirkan akibat maraknya aktivitas industri yang terkesan tidak sensitif terhadap pemeliharaan kebudayaan lokal.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kukar, Sri Wahyuni,  Rabu (12/11/2014), mengakui bahwa wilayahnya tidak dapat terus-menerus mengandalkan sektor migas dan tambang. Bagaimanapun, pemasukan dari sektor tersebut akan terus berkurang seiring menyusutnya SDA tak terbarukan. Oleh karena itu, kata Sri, wilayahnya mulai melirik pariwisata dan budaya sebagai potensi lokal

Menurut catatan Kompas edisi 8 November 2014, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup per Maret 2014, sebanyak 41,6 juta hektare atau 72,63 persen luas daratan di Kalimantan, termasuk Kalimantan Timur, telah dikapling untuk usaha tambang, perkebunan, dan industri kayu. Pesisir Mahakam bakal semakin terpinggir dan semakin jauh dari kata sejahtera.

Ironi

Bicara soal kesejahteraan, Bung Karno dalam pidato Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945, mengungkapkan, negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Negara Indonesia, menurut Bung Karno, adalah "semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu”.

Pun halnya dengan Bung Hatta, yang selalu menekankan persamaan nasib dan tujuan untuk kesejahteraan rakyat dan kemakmuran bangsa Indonesia. Menurut Bung Hatta, jika makin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah sekadar nama dan gambar seuntaian pulau di peta.

Dari pemikiran dua Bapak Bangsa itu muncullah konsep ekonomi Pancasila. Namun, konsep itu lebih memberikan kesan sebagai slogan pemanis belaka dalam kehidupan berbangsa. Sistem kepedulian antar-sesama semakin tergerus ke lubang nestapa, berlimpahnya kekayaan alam di negeri ini tak berkorelasi nyata dengan kesejahteraan seluruh tumpah darahnya.

Terancam punahnya Pesut Mahakam dan ketidakjelasan masa depan anyaman Dayak, adalah sejumput kecil potret buram yang menggambarkan cita-cita para pendiri bangsa masih jauh api dari panggang. Belum lagi bicara kebudayaan dan kearifan lokal.

Suatu hari nanti, keriangan dua ekor Pesut Mahakam bisa jadi hanya tersisa dalam rupa paduan imajinasi dan kenangan saat menatap Monumen Pesut Mahakam, yang itu pun kondisinya tak terawat.

"Mereka (Pesut Mahakam) yang hidup di perairan ini kelihatan bebas. Saya kagum, otaknya canggih, bisa pakai sonar. Ketika di bawah air mereka suka memperlihatkan senyumnya. Mereka juga sangat peduli sama anak-anaknya." - Danielle Kreb.

Bila tak ada upaya nyata menyelaraskan potensi dan program yang benar-benar membuat rakyat berdaya, bisa jadi kata-kata Danielle tersebut pun bakal terlalu sulit dibayangkan, seiring eksploitasi sumber daya alam yang menyisakan lubang galian. Dalam sunyi, satu dua ekor Pesut Mahakam mungkin masih "bernyanyi" kini, entah esok hari...

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com